Ntvnews.id, Jakarta - Industri tembakau nasional kembali menghadapi situasi sulit. Setelah produksi di sejumlah perusahaan besar merosot, ancaman pengurangan tenaga kerja kian nyata. Ribuan pekerja terancam kehilangan pekerjaan akibat tekanan fiskal, terutama dari kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang terus diberlakukan dalam beberapa tahun terakhir.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menilai kebijakan cukai yang berlaku saat ini tidak mendukung keberlangsungan industri padat karya.
“Memang persoalan cukai (rokok) yang makin naik terus-menerus dan tinggi sekali itu yang memukul industri tembakau,” ujar Said dalam keterangannya, Kamis, 11 September 2025.
Ia menambahkan, kondisi ini semakin diperparah oleh lemahnya daya beli masyarakat.
“Perusahaan tidak kuat lagi bersaing di tengah daya beli masyarakat yang turun. Kecuali daya beli masyarakat juga stabil,” lanjutnya.
Untuk menjaga keberlangsungan industri, KSPI mengusulkan moratorium atau penundaan kenaikan cukai selama tiga tahun. Menurut Said, langkah ini bisa memberi ruang bagi industri melakukan penyesuaian.
“Kalau moratorium selama tiga tahun benar-benar diterapkan tanpa ada kenaikan cukai rokok, setidaknya itu bisa memberi ruang bagi industri rokok untuk bertahan,” katanya.
Selain soal fiskal, menjamurnya rokok ilegal turut memperburuk kondisi industri resmi. Said menegaskan, peredaran rokok tanpa cukai merugikan negara sekaligus menimbulkan persaingan tidak adil.
“Kelompok industri tembakau yang tidak membayar cukai atau ilegal itu, mereka hanya mencari keuntungan buat pemilik saja kok. Itu kan unfair,” tegasnya.
Ia juga menyoroti lemahnya perlindungan pekerja di pabrik rokok ilegal
“Semua industri yang tidak membayar pajak harus dikenakan sanksi tegas bahkan kalau perlu ditutup perusahaan itu. Karena tidak membayarkan kewajibannya kepada negara,” tambahnya.
Sementara itu, pemerintah memastikan tidak akan menambah pungutan pajak baru pada 2026. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan fokus kebijakan fiskal akan diarahkan pada peningkatan kepatuhan administrasi.
“Menurut saya pribadi selama ini enggak usah (ada pungutan pajak baru). Dengan sistem yang ada pun, kalau pertumbuhannya bagus, anggap tax to GDP ratio-nya konstan, maka pendapatan negara juga meningkat,” jelasnya.
Dalam RAPBN 2026, pemerintah menargetkan penerimaan pajak Rp2.357,71 triliun atau naik 13,51 persen dibanding tahun ini. Angka tersebut mencerminkan strategi fiskal yang lebih menitikberatkan pada efisiensi dan penegakan aturan ketimbang penambahan pungutan.
Dengan situasi industri yang kian terjepit, desakan moratorium cukai dan penindakan rokok ilegal dipandang sebagai opsi yang adil. Kebijakan tersebut diharapkan dapat menjaga jutaan lapangan kerja sekaligus tetap menjamin kontribusi fiskal negara.