Ntvnews.id, Jakarta - Agam Syarief Baharudin, salah satu dari tiga hakim yang menjatuhkan putusan lepas (ontslag) dalam perkara korupsi terkait pemberian izin ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) pada tahun 2022, mengaku telah mengembalikan seluruh uang suap yang diterimanya, yakni sebesar Rp6,2 miliar, kepada pihak Kejaksaan.
"Semua sudah dikembalikan," kata Agam saat ditemui wartawan usai sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis, 21 Agustus 2025.
Dalam perkara tersebut, Agam didakwa menerima suap senilai Rp6,2 miliar. Uang itu diduga diberikan terkait putusan lepas atas perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO untuk periode tahun 2023 hingga 2025. Suap diterima dalam dua tahap, yakni sebesar Rp1,1 miliar dan Rp5,1 miliar.
Tidak sendiri, Agam menerima uang tersebut bersama dua rekannya sesama hakim yang menangani perkara serupa, yaitu Djuyamto dan Ali Muhtarom.
Baca Juga: Mantan Ketua PN Jaksel Jalani Sidang Perdana Kasus Suap Putusan CPO
Selain ketiganya, mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta, serta Panitera Muda Perdata Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, juga disebut turut serta dalam penerimaan suap tersebut.
Secara keseluruhan, ketiga hakim yang memutus vonis lepas terhadap perkara ekspor CPO pada 2022 tersebut diduga menerima uang suap senilai total Rp21,9 miliar.
Dalam dakwaan, Djuyamto disebut menerima Rp9,5 miliar yang terdiri dari dua tahap, yakni Rp1,7 miliar dan Rp7,8 miliar. Sementara Ali, seperti Agam, diduga menerima Rp6,2 miliar, juga dalam bentuk dua pembayaran: Rp1,1 miliar dan Rp5,1 miliar.
Saat konferensi pers tentang kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO) di Gedung Bundar Jampidsus Kejaksaan Agung (Kejagung), Selasa, 17 Juni 2025, Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar (kiri) bersama Direktur Penuntutan Kejaksaan Agung Sutikno ( (Antara)
Baca Juga: Eks Panitera PN Jakut Wahyu Gunawan Didakwa Terima Suap Rp2,4 Miliar di Kasus CPO
Jika dihitung secara total, uang yang diterima oleh para hakim bersama Arif dan Wahyu mencapai sekitar 2,5 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp40 miliar.
Sumber uang tersebut diduga berasal dari empat orang yang bertindak sebagai kuasa hukum atau perwakilan dari perusahaan-perusahaan terdakwa dalam kasus ini, yaitu Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan Syafei. Mereka diketahui mewakili tiga korporasi besar yang menjadi terdakwa dalam perkara ini, yaitu Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
Atas dugaan perbuatannya, ketiga hakim tersebut didakwa dengan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mereka didakwa melanggar Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 12 huruf c atau Pasal 12B junto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021, junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (Sumber: Antara)