Bukan Sekadar Menambang, Hilirisasi Nikel hingga Kobalt Dongkrak Posisi Indonesia

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 10 Nov 2025, 10:41
thumbnail-author
Muslimin Trisyuliono
Penulis
thumbnail-author
Dedi
Editor
Bagikan
Hilirisasi berkeadilan merupakan bagian penting dari transformasi ekonomi nasional. (Foto: Cahyo/Biro Pers Sekretariat Presiden) Hilirisasi berkeadilan merupakan bagian penting dari transformasi ekonomi nasional. (Foto: Cahyo/Biro Pers Sekretariat Presiden)

Ntvnews.id, Jakarta - Kepala Eksekutif Badan Energi Internasional (IEA) Fatih Birol menyampaikan Indonesia dan negara penghasil mineral kritis lainnya kini dihadapkan pada peluang baru untuk menambah nilai dari sumber daya.

Alih-alih hanya menambang, pengolahan dan pemurnian nikel, kobalt, dan logam tanah jarang menjadi kunci memperkuat posisi dalam rantai pasok global.

Birol menilai mineral kritis tidak hanya dibutuhkan untuk teknologi energi seperti kendaraan listrik, panel surya, atau turbin angin. 

Menurutnya mineral ini juga digunakan dalam industri manufaktur, pembuatan chip, pertahanan, drone, dan berbagai sektor lainnya.

"Beberapa orang meyakini mineral kritis hanya digunakan untuk teknologi energi, tetapi itu tidak sepenuhnya benar. Mineral ini juga digunakan dalam industri manufaktur, pembuatan chip, pertahanan, drone, dan berbagai sektor lainnya," ucap Birol dalam keterangan tertulisnya, Senin 10 November 2025.

Baca juga: Wamen Todotua Dorong Hilirisasi dan Percepatan Investasi Lewat KLIK

Lanjut kata Birol, pengolahan dan pemurnian mineral kritis global saat ini masih terkonsentrasi pada sejumlah kecil negara, dengan satu negara di Asia memegang peran dominan. 

Kondisi ini menempatkan sebagian besar negara penghasil mineral mentah dalam posisi pasif dalam rantai nilai global.

Oleh karena itu, Indonesia dan negara penghasil mineral lainnya dinilai perlu mengembangkan kapasitas pengolahan dan pemurnian. 

“Negara-negara yang memiliki nikel, logam tanah jarang, kobalt, atau mineral kritis lainnya sebaiknya tidak hanya menambangnya, tetapi yang lebih penting adalah mengolah dan memurnikannya,” lanjutnya.

Birol menekankan bahwa kemampuan pengolahan dan pemurnian mineral kritis juga akan mendorong kemandirian industri nasional dan memperkuat ketahanan ekonomi terhadap fluktuasi pasar global. 

Sementara itu, Han Phoumin, Senior Energy Economist di Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) menilai bahwa Indonesia berpotensi mengubah kekayaan sumber daya menjadi kemakmuran berkelanjutan.

Pasalnya, mineral kritis kini menjadi minyak baru dalam peta geopolitik abad ke-21. Mineral seperti nikel, kobalt, tembaga, lithium, dan logam tanah jarang muncul sebagai komponen penting bagi sejumlah sektor industri. 

Baca juga: Danantara Dukung Hilirisasi Pertanian, Rosan: Ciptakan Jutaan Lapangan Kerja Baru

Menurut U.S. Geological Survey, Indonesia memiliki cadangan nikel sekitar 55 juta ton, atau sekitar 42 persen dari cadangan global, menjadikannya yang terbesar di dunia. Indonesia juga termasuk dalam 10 besar produsen tembaga dan bauksit. 

Untuk keluar dari posisi sekadar pemasok bahan mentah, Indonesia saat ini telah menerapkan kebijakan hilirisasi

Pemerintah melarang ekspor bijih mentah, membangun lebih dari 30 smelter, dan berhasil menarik investasi asing langsung senilai lebih dari USD30 miliar sepanjang 2019–2023. 

“Kawasan industri seperti Morowali dan Weda Bay menjadi simbol ambisi Indonesia membangun ekosistem manufaktur baterai lengkap, dari tambang hingga perakitan kendaraan listrik,” ucap Phoumin.

Di sisi lain, MIND ID, Holding Industri Pertambangan, menegaskan posisinya sebagai ujung tombak nasional dalam mewujudkan visi hilirisasi tersebut. 

Fokus strategis MIND ID Group adalah pada pengembangan nikel secara terintegrasi guna mengamankan pasokan dan nilai tambah mineral kritis.

Baca juga: Wamenko Otto Minta Hilirisasi Kratom Tetap Dipertimbangkan untuk Nilai Tambah Ekonomi

Melalui anggota holding, MIND ID memimpin sejumlah proyek raksasa yang bergerak dari pengolahan bijih hingga komponen baterai canggih. PT Vale Indonesia Tbk (Vale) tengah mengakselerasi tiga proyek Indonesia Growth Project (IGP). 

Tidak hanya itu, PT Aneka Tambang Tbk (ANTAM) secara agresif membangun ekosistem EV battery nasional. Proyek ini mencakup lima titik strategis di Halmahera Timur (Haltim) yang berfokus pada pemurnian nikel, dan satu proyek hilir kunci di Karawang, Jawa Barat, yang akan memproduksi material katoda untuk baterai kendaraan listrik.

Langkah terintegrasi ini tidak hanya sebatas pemenuhan kebutuhan domestik, tetapi juga sebuah pernyataan geopolitik bahwa Indonesia, melalui MIND ID, bertransisi dari sekadar pemasok komoditas menjadi pemain kunci yang menentukan harga dan standar dalam rantai pasok energi bersih global.

Namun demikian, kelimpahan sumber daya saja tidak dapat menjamin masa depan Indonesia. Tantangan berikutnya, menurut Phoumin, adalah mengubah kekayaan mineral menjadi kemakmuran berkelanjutan berbasis aturan. 

Phoumin lantas menyoroti tiga imperatif yang perlu diterapkan oleh Indonesia. 

Baca juga: Bahlil: Pabrik Lotte Chemical Jadi Bukti Hilirisasi Indonesia Bergerak ke Sektor Migas

Pertama, adalah transparansi. Menurutnya, pasar mineral global rentan terhadap asimetri informasi dan volatilitas harga. 

“Pendirian ‘Critical Minerals Data Hub’ di bawah WTO atau G20 dapat membantu memantau produksi, pembatasan perdagangan, dan tingkat stok secara real time, sekaligus mencegah penimbunan ekspor,” katanya. 

Kedua, adalah keberlanjutan. Industrialisasi cepat di Indonesia memunculkan tantangan ESG, mulai dari deforestasi hingga smelter berbasis batu bara. 

Untuk itu, Indonesia disebut harus mengacu pada standar lingkungan dan sosial berbasis OECD agar tetap kompetitif di pasar teknologi bersih bernilai tinggi. 

“Pengembangan sertifikasi ESG nasional dan kerangka pelacakan dapat memperkuat kepercayaan internasional dan membuka aliran pembiayaan hijau dari mitra seperti EXIM Bank AS dan DFC,” tuturnya. 

Ketiga, diversifikasi. Inisiatif seperti Inflation Reduction Act Amerika Serikat dan Minerals Security Partnership membuka peluang kolaborasi di luar FTA tradisional. Adapun compact sektoral antara AS dan Indonesia dapat memperkuat ketahanan rantai pasok dan mendorong investasi. 

x|close