Dorongan Reformasi Struktur Tarif CHT untuk Tingkatkan Penerimaan dan Efektivitas Kebijakan

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 15 Jul 2025, 18:53
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Penulis & Editor
Bagikan
Petani tembakau di Aceh Besar. Petani tembakau di Aceh Besar. (Antara)

Ntvnews.id, Jakarta - Pemerintah didesak untuk melakukan reformasi menyeluruh terhadap struktur tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) guna menciptakan tata kelola fiskal yang lebih adil dan efisien. Saat ini, struktur tarif yang masih berlapis-lapis dianggap menyulitkan proses pengawasan, membuka celah untuk penghindaran pajak, serta mengurangi efektivitas kebijakan dalam menekan konsumsi.

CHT masih menjadi tulang punggung penerimaan cukai nasional, dengan kontribusi sekitar 95 persen. Hingga pertengahan 2025, pendapatan dari cukai tembakau telah mencapai Rp108,8 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani menekankan pentingnya menjaga momentum penerimaan negara, khususnya memasuki paruh kedua tahun ini.

“Ini Pak Djaka di Semester II perlu untuk menjaga penerimaan. Mungkin dengan Dirjen Bea Cukai baru kita akan dapat banyak lagi (penerimaan),” ujar Sri Mulyani belum lama ini.

Upaya penyederhanaan struktur tarif ini juga mendapat dukungan dari Kementerian PPN/Bappenas. Koordinator Perencanaan Fiskal, Moneter, dan Sektor Keuangan Bappenas, Ibnu Ahmadsyah, menyatakan bahwa simplifikasi struktur tarif cukai dan kebijakan multi-year sudah masuk dalam strategi fiskal nasional.

Baca Juga: Menteri Lingkungan Hidup Bakal Panggil Direktur Perusahaan Terkait Polusi Udara Jakarta

“Simplifikasi struktur tarif cukai hasil tembakau, serta perbaikan tata kelola cukai hasil tembakau untuk peningkatan kesehatan masyarakat dan pendapatan negara,” jelas Ibnu dalam keterangannya, Selasa, 15 Juli 2025.

Ibnu menambahkan bahwa skema tarif saat ini menyisakan celah penghindaran pajak, dan menyarankan agar kebijakan cukai difokuskan pada empat pilar utama: pengendalian konsumsi, peningkatan penerimaan negara, perlindungan tenaga kerja, serta pengawasan terhadap peredaran rokok ilegal.

“Restrukturisasi CHT berdasarkan kebijakan yang berkesinambungan arahnya diharapkan semakin mengerucut, tarifnya bisa disederhanakan. Kalau struktur yang sekarang ada celah tax avoidance,” tambahnya.

Dari sisi masyarakat sipil, Project Lead Tobacco Control dari Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Beladenta Amalia, juga menegaskan pentingnya menyederhanakan struktur tarif agar kebijakan pengendalian bisa berjalan lebih efektif. Ia menilai penambahan golongan tarif justru berpotensi memperumit pengawasan serta mereduksi efektivitas penerimaan negara.

Baca Juga: Usai Diperiksa di Kejagung, Nadiem Makarim: Terima Kasih Sudah Diberi Kesempatan Menerangkan

“Sekarang cukai kita punya banyak layer sehingga kenaikan cukai saja tanpa ada simplifikasi tetap membuat harga rokok di pasaran bervariasi. Tetap ada rokok murah, tetap saja nanti downtrading. Makanya kita mendorong untuk optimalisasi itu sebenarnya dengan simplifikasi juga,” jelasnya.

CISDI dalam kajiannya merekomendasikan agar struktur tarif CHT dipangkas menjadi hanya 3 hingga 5 lapisan pada tahun 2029. Beladenta juga menyebutkan bahwa selain menyederhanakan struktur, penerapan kebijakan multi-year akan memberikan kepastian bagi industri dan masyarakat sekaligus memperkuat upaya pengendalian konsumsi tembakau.

Di sisi lain, tren konsumsi masyarakat menunjukkan adanya pergeseran ke produk rokok berharga lebih murah atau downtrading. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran akan penurunan pendapatan negara dari cukai.

Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa produksi rokok Golongan I, yang dikenakan tarif tertinggi, turun lebih dari 10 persen—dari 38,9 miliar batang pada tahun lalu menjadi 34,7 miliar batang pada kuartal pertama 2025.

Baca Juga: KPK Panggil Anggota DPR Mafirion, Sebagai Saksi Dugaan Pemerasan di Kemenaker

Sebaliknya, produksi Golongan II dan III meningkat masing-masing sebesar 1,3 persen dan 7,4 persen, mencerminkan meningkatnya permintaan terhadap produk rokok murah di tengah tekanan daya beli masyarakat.

Pergeseran pola konsumsi ini tidak lepas dari dampak jangka panjang kenaikan tarif CHT sejak 2020. Secara berturut-turut, pemerintah menaikkan cukai sebesar 23 persen pada 2020, disusul kenaikan 12 persen pada 2021, dan masing-masing 10 persen pada 2023 dan awal 2024. Kenaikan ini menyebabkan lonjakan harga, khususnya pada produk rokok Golongan I, yang mendorong konsumen beralih ke produk lebih murah atau bahkan rokok ilegal.

“Kalau ada rokok ilegal, akhirnya tetap saja yang merokok banyak, tapi negara tidak dapat cukai,” pungkasnya.

x|close