Menteri PPPA: Perempuan dan Anak Paling Rentan Jadi Korban KBG saat Bencana

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 7 Nov 2025, 13:18
thumbnail-author
Naurah Faticha
Penulis
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Editor
Bagikan
Menteri PPPA Arifah Fauzi dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Tim Pengawas Penanganan Kebencanaan DPR RI, Rabu, 5 November 2025. ANTARA/HO-Kemen PPPA Menteri PPPA Arifah Fauzi dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Tim Pengawas Penanganan Kebencanaan DPR RI, Rabu, 5 November 2025. ANTARA/HO-Kemen PPPA (Antara)

Ntvnews.id, Jakarta - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bersama DPR RI menegaskan komitmen untuk memperkuat perlindungan bagi perempuan dan anak dalam kondisi bencana dan situasi darurat. Hal ini penting mengingat kelompok tersebut memiliki kerentanan tinggi terhadap kekerasan berbasis gender (KBG).

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi menekankan bahwa bencana tidak hanya menguji kesiapan infrastruktur, tetapi juga kemanusiaan.

“Bencana bukan hanya ujian bagi infrastruktur, tetapi juga ujian bagi rasa kemanusiaan dan keadilan sosial kita. Oleh karena itu, membangun sistem penanggulangan bencana yang inklusif berarti memastikan perempuan dan anak tidak hanya menjadi penerima bantuan, tetapi juga subjek yang berdaya dan berperan aktif dalam pemulihan,” ujar Arifah dalam keterangan di Jakarta, Kamis, 6 November 2025.

Usai menghadiri Rapat Dengar Pendapat dengan Tim Pengawas Penanganan Kebencanaan DPR RI pada Rabu, 5 November 2025, Arifah menyoroti bahwa perempuan dan anak dalam situasi bencana rentan menghadapi diskriminasi, stereotip, subordinasi, marginalisasi, serta kekerasan fisik, psikis, dan seksual.

Baca Juga: Sinergi PNM dan KemenPPPA Kuatkan Perlindungan Hak Perempuan dan Anak

Ia menyebut bahwa selama masa darurat dan pascabencana, risiko KBG meningkat signifikan. Sebagai contoh, di Sulawesi Tengah ditemukan 67 kasus KBG pascagempa dan 70 kasus perkawinan anak pada periode Oktober 2018–Maret 2019. Selain itu, tercatat tiga kasus pemerkosaan di pengungsian pascagempa di Padang, 97 kasus KBG pascatsunami di Aceh, 313 kasus selama pandemi COVID-19, serta pelecehan seksual terhadap anak yang terjadi hanya sepekan setelah gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Menurut Arifah, fenomena tersebut menunjukkan bahwa jumlah kasus sebenarnya jauh lebih banyak dari laporan yang muncul di permukaan.

“Kerentanan perempuan dan anak dalam situasi darurat dan bencana terhadap KBG ibarat fenomena gunung es, yaitu kasus yang sesungguhnya jauh lebih banyak dibandingkan pelaporan,” tegasnya.

Ia menjelaskan, Kemen PPPA memiliki mandat sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus bagi Anak, yang mencakup tiga tugas utama: pencegahan agar anak tidak menjadi korban tindak pidana akibat situasi darurat, pemenuhan kebutuhan dasar dan khusus anak melalui koordinasi dengan Kementerian Sosial, serta pendampingan anak secara terkoordinasi dengan berbagai pihak.

Baca Juga: KemenPPPA Bersama Pemda Tangani Anak Korban Perundungan di Sumsel

Untuk menindaklanjuti mandat tersebut, Kemen PPPA menerbitkan Peraturan Menteri PPPA Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pelindungan Perempuan dan Anak dari Kekerasan Berbasis Gender dalam Penanggulangan Bencana, sebagai bentuk pembaruan terhadap aturan sebelumnya.

Kemen PPPA juga memperkuat pendekatan berbasis gender dan hak anak di setiap tahap penanganan bencana, mulai dari prabencana, tanggap darurat, hingga pemulihan pascabencana. Salah satu langkah nyata adalah pengaktifan Pos Ramah Perempuan dan Anak, yang berfungsi sebagai pusat pendataan terpilah, dukungan psikososial, dan tempat pengaduan bagi korban perempuan dan anak.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Tim Pengawas Penanggulangan Bencana DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal menekankan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara paling rawan bencana di dunia. Dampaknya, kata dia, tidak hanya berupa kerugian material tetapi juga sosial dan psikologis.

“Tetapi juga mencakup kerugian non-material, seperti hilangnya nyawa manusia, trauma psikologis, dan terganggunya kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Bencana juga dapat memperburuk ketimpangan sosial dan menyebabkan kerentanan yang lebih besar terhadap kemiskinan dan ketidakadilan,” ujar Cucun.

Cucun menambahkan, koordinasi antar kementerian dan lembaga perlu diperkuat dalam menghadapi potensi kebencanaan di masa depan.

"Diperlukan satu komando operasi terpadu yang jelas dan efektif yang mampu mengintegrasikan seluruh tahapan penanganan mulai dari prabencana, tanggap darurat, hingga rehabilitasi dan rekonstruksi," katanya.

(Sumber: Antara)

x|close