Ntvnews.id, Napydaw
- Sedikitnya 24 orang meninggal dunia dan 47 lainnya terluka akibat serangan udara yang menghantam perayaan festival Buddha di wilayah tengah Myanmar.
Peristiwa tragis ini terjadi pada Senin malam, 6 Oktober 2025, ketika sekitar 100 warga menghadiri acara nyala lilin untuk memperingati hari libur nasional Thadingyut di Kotapraja Chaung U, wilayah Sagaing.
Dilansir dari BBC, Kamis, 9 Oktober 2025, serangan dilakukan menggunakan paralayang bermesin yang menjatuhkan dua bom ke arah kerumunan warga. Serangan singkat itu hanya berlangsung selama tujuh menit, menurut kesaksian seorang anggota Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF) setempat yang turut terluka dalam insiden tersebut.
"Ledakannya melukai kaki saya. Orang-orang di sekitar saya ada yang tewas," ujarnya.
Ledakan bom tersebut menimbulkan kepanikan luar biasa. Sejumlah jasad korban bahkan sulit dikenali akibat luka parah. Salah seorang perempuan panitia acara mengatakan bahwa banyak anak-anak turut menjadi korban dalam tragedi itu.
Baca Juga: Prabowo Soroti Konflik Global dalam Sidang Kabinet: dari Konflik Israel-Iran hingga Thailand-Myanmar
"Anak-anak benar-benar hancur. Kami masih mengumpulkan potongan tubuh hingga keesokan harinya," ungkapnya usai menghadiri pemakaman massal pada Selasa.
Chaung U terletak di wilayah Sagaing, yang dikenal sebagai salah satu pusat perlawanan terhadap junta militer sejak kudeta 2021. Daerah ini banyak dikuasai oleh milisi rakyat dan sering menjadi sasaran operasi militer intensif.
PDF yang beroperasi di kawasan tersebut diketahui telah memperoleh informasi intelijen mengenai kemungkinan adanya serangan udara. Namun, evakuasi tidak sempat dilakukan karena paramotor penyerang datang lebih cepat dari perkiraan.
Amnesty International mengecam keras serangan ini dan menyebut penggunaan paramotor untuk menjatuhkan bom sebagai bentuk kekerasan baru yang mengkhawatirkan terhadap warga sipil.
Menurut Joe Freeman, peneliti Myanmar di Amnesty International,"Serangan ini seharusnya menjadi peringatan mengerikan bahwa warga sipil Myanmar membutuhkan perlindungan segera." jelasnya.
Baca Juga: Indonesia Desak Kerja Sama Global untuk Atasi Krisis Rohingya dan Myanmar
Dalam laporan BBC Burmese, disebutkan bahwa junta militer Myanmar kini semakin sering memanfaatkan paramotor sebagai pengganti pesawat tempur dan helikopter, yang jumlahnya semakin berkurang akibat sanksi internasional. Meski demikian, pasokan drone dan teknologi militer dari Tiongkok dan Rusia disebut masih memperkuat kemampuan tempur mereka.
Aksi nyala lilin yang menjadi sasaran bom sejatinya merupakan kegiatan damai untuk menentang kebijakan wajib militer yang diberlakukan junta serta menyerukan pembebasan tahanan politik, termasuk pemimpin sipil Aung San Suu Kyi, yang dikudeta dan kini dipenjara.
Peristiwa ini terjadi hanya beberapa bulan menjelang pemilu nasional yang dijadwalkan berlangsung pada Desember 2025. Namun, banyak pihak meyakini bahwa pemilu tersebut tidak lebih dari upaya junta untuk mempertahankan kekuasaan militer secara otoriter dan menekan perlawanan rakyat Myanmar.