Ntvnews.id, Paris - Presiden Prancis Emmanuel Macron kini menghadapi tekanan besar, bahkan dari para sekutu politiknya sendiri, untuk segera mengakhiri kebuntuan politik yang melanda negaranya. Seorang mantan Perdana Menteri (PM) yang dulu merupakan sekutunya bahkan mendesak Macron agar mengundurkan diri demi kepentingan nasional.
Dilansir dari AFP, Kamis, 9 Oktober 2025, Macron yang menjabat sejak 2017 tengah menghadapi salah satu krisis politik domestik terburuk dalam masa pemerintahannya. Situasi itu memuncak setelah PM ketujuh di era kepemimpinannya, Sebastien Lecornu, secara mendadak mengajukan pengunduran diri pada Senin, 6 Oktober 2025.
Macron telah menerima pengunduran diri Lecornu, tetapi masih memberinya waktu hingga Rabu, 8 Oktober 2025 malam untuk mencari jalan kompromi demi mempertahankan pemerintahan koalisi yang stabil. Namun, peluang keberhasilan langkah ini masih sangat tidak pasti.
Jika upaya tersebut gagal, salah satu opsi yang tersedia bagi Macron adalah membubarkan parlemen dan menggelar pemilu legislatif mendadak guna memperoleh komposisi legislatif yang lebih mendukung pemerintahannya.
Baca Juga: Sindiran Pedas Macron ke Trump: Nobel Perdamaian Hanya Layak Jika Hentikan Konflik Israel-Palestina
Menurut seorang ajudan presiden yang meminta identitasnya dirahasiakan, Macron telah melakukan pembicaraan dengan ketua majelis tinggi dan majelis rendah parlemen Prancis pada Selasa, 7 Oktober 2025 malam. Tujuan pasti dari pertemuan tersebut tidak dijelaskan secara rinci, tetapi konstitusi mewajibkan presiden berkonsultasi dengan para ketua majelis sebelum memutuskan menggelar pemilu baru.
Dengan telah bergantinya tiga perdana menteri hanya dalam kurun waktu satu tahun, ketidakpuasan terhadap Macron kini semakin meluas, termasuk di dalam barisan pendukungnya sendiri.
Juru bicara kepresidenan Prancis, Aurore Berge, menegaskan pada Selasa, 7 Oktober 2025 bahwa Macron akan tetap menjabat “hingga menit terakhir masa jabatannya” pada tahun 2027.
Namun, mantan PM Edouard Philippe yang pernah memimpin pemerintahan di bawah Macron antara 2017 dan 2020 berpendapat bahwa pemilihan presiden (pilpres) seharusnya digelar lebih cepat setelah pengesahan anggaran negara. Harian Le Parisien menggambarkan pernyataan Philippe tersebut sebagai “bom politik”.
Baca Juga: Macron Umumkan Prancis Akui Palestina, Prabowo Beri Standing Ovation
Pilpres Prancis berikutnya dijadwalkan pada 2027, di mana Macron tidak lagi bisa mencalonkan diri. Philippe sendiri telah disebut sebagai salah satu kandidat potensial, sementara kubu sayap kanan ekstrem yang dipimpin Marine Le Pen menilai situasi ini sebagai peluang emas untuk merebut kekuasaan.
Dalam wawancaranya dengan televisi RTL, Philippe mengecam apa yang disebutnya sebagai “permainan politik yang menyedihkan” dan menegaskan bahwa Macron bertanggung jawab untuk membantu Prancis “keluar secara terkendali dan bermartabat dari krisis politik yang merugikan negara”.
Opsi lain yang tengah dipertimbangkan Macron adalah menunjuk perdana menteri baru, yang akan menjadi kepala pemerintahan kedelapan selama masa jabatannya.
Krisis politik yang kini menjerat Prancis bermula ketika Macron memutuskan menggelar pemilu legislatif mendadak pada musim panas 2024. Langkah tersebut diambil dengan harapan memperkuat basis kekuasaan, tetapi justru berujung pada parlemen yang terpecah menjadi tiga blok besar yang saling bersaing, memperdalam ketidakstabilan politik di negara itu.