MK Tolak Uji Formil UU TNI karena Dalil Pemohon Tidak Terbukti

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 17 Sep 2025, 21:01
thumbnail-author
Satria Angkasa
Penulis
thumbnail-author
Tim Redaksi
Editor
Bagikan
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) bersama Wakil Ketua MK Saldi Isra (kiri) dan anggota Majelis Hakim MK Arief Hidayat (kanan) saat memimpin sidang putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Gubernur Papua Tahun 2024 di Gedung MK, Jakarta, Rabu (17/9/2025). Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak semua permohonan gugatan PHPU Gubernur Papua Tahun 2024 yang diajukan Benhur Tomi Mano dan Constant Karma. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/bar Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) bersama Wakil Ketua MK Saldi Isra (kiri) dan anggota Majelis Hakim MK Arief Hidayat (kanan) saat memimpin sidang putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Gubernur Papua Tahun 2024 di Gedung MK, Jakarta, Rabu (17/9/2025). Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak semua permohonan gugatan PHPU Gubernur Papua Tahun 2024 yang diajukan Benhur Tomi Mano dan Constant Karma. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/bar (Antara)

Ntvnews.id, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian formil terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 mengenai Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Penolakan dilakukan karena seluruh dalil yang diajukan para pemohon dianggap tidak terbukti.

Permohonan tersebut diajukan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perkumpulan Imparsial, Perkumpulan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), serta aktivis Inayah W.D. Rahman dalam perkara Nomor 81/PUU-XXIII/2025.

"Menolak permohonan pemohon I sampai dengan pemohon IV untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Rabu, 17 September 2025. 

Selain itu, perkara tersebut sebenarnya juga diajukan oleh aktivis sekaligus ibu rumah tangga Fatiah Maulidiyanty dan seorang mahasiswa, Eva Nurcahyani. Namun, Mahkamah menilai keduanya tidak memiliki kedudukan hukum.
"Menyatakan permohonan V dan VI tidak dapat diterima," lanjut Suhartoyo.

Baca Juga: MK Kembali Tak Terima Gugatan UU TNI, Pemohon Nggak Punya Legal Standing

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menegaskan bahwa dalil para pemohon terkait proses perencanaan revisi UU TNI dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 yang disebut melanggar prosedur, tidak beralasan menurut hukum.

MK juga menolak argumen yang menyebut revisi UU TNI bukan merupakan “operan” atau carry over, sehingga dinilai melangkahi tahapan perencanaan dan penyusunan undang-undang. Dalil tersebut dianggap tidak berdasar.

Selain itu, Mahkamah menilai tidak tepat jika alasan para pemohon yang menyebut revisi UU TNI bertentangan dengan agenda reformasi TNI pasca-1998 dijadikan dasar hukum.

Terkait partisipasi publik, MK menilai pemerintah dan DPR selaku pembentuk undang-undang telah berupaya membuka ruang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk ikut serta dalam proses revisi. Upaya tersebut dilakukan baik melalui forum tatap muka, diskusi publik, maupun penyebaran informasi secara daring lewat laman resmi dan kanal YouTube yang bisa diakses publik.

“Artinya, pembentuk undang-undang telah menyediakan beberapa pilihan metode atau sarana partisipasi publik, serta tidak ada upaya untuk menghalangi masyarakat yang hendak berpartisipasi dalam proses pembentukan RUU Perubahan Atas Undang-Undang 34/2004 (UU TNI),” kata Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah saat membacakan pertimbangan hukum.

Baca Juga: MK Minta Pemerintah dan DPR Ungkap Bukti Partisipasi Publik dalam Revisi UU TNI

Sementara itu, menyangkut polemik rapat konsinyering Panitia Kerja RUU TNI di sebuah hotel mewah di Jakarta Pusat, Mahkamah menegaskan rapat tersebut sejatinya bersifat terbuka sebagaimana tercatat dalam risalah rapat.

Adapun persoalan dokumen yang disebut sulit diakses publik, Mahkamah berpendapat hal itu tidak bisa dikategorikan sebagai pelanggaran asas keterbukaan. Sebab, informasi mengenai pembahasan RUU telah disampaikan melalui laman resmi dan kanal YouTube DPR, serta dapat diketahui melalui pemberitaan media seusai rapat.

"Dengan demikian, berdasarkan fakta hukum tersebut, pembentuk undang-undang telah menyediakan akses melalui laman resmi dan kanal YouTube DPR serta adanya hasil wawancara yang dilakukan oleh media massa dalam setiap tahapan pembahasan RUU a quo (tersebut) telah membuktikan upaya pembentuk undang-undang dalam membuka akses informasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat," jelas Guntur.

Putusan ini tidak diambil secara bulat. Empat hakim, yakni Ketua MK Suhartoyo, Wakil Ketua MK Saldi Isra, serta Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Arsul Sani, menyampaikan dissenting opinion atau pendapat berbeda.

Dalam sidang tersebut, MK sekaligus memutus lima perkara uji formil UU TNI. Selain perkara Nomor 81/PUU-XXIII/2025, Mahkamah juga mengadili perkara Nomor 75, 69, 56, dan 45/PUU-XXIII/2025. Akan tetapi, empat perkara lainnya dinyatakan tidak dapat diterima karena para pemohonnya, yang seluruhnya mahasiswa, tidak memiliki kedudukan hukum. (Sumber : Antara)

x|close