Akademisi Indonesia di Britania Raya Kecam Kekerasan Aparat dan Desak Reformasi Menyeluruh

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 2 Sep 2025, 23:31
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Penulis & Editor
Bagikan
Ratusan demonstran melakukan demo di depan Gedung Negara Grahadi Surabaya, Jumat, 29 Agustus 2025. Ratusan demonstran melakukan demo di depan Gedung Negara Grahadi Surabaya, Jumat, 29 Agustus 2025. (ANTARA)

Ntvnews.id, Britania Raya - Sejumlah akademisi Indonesia yang berdomisili di Britania Raya menyampaikan keprihatinan mendalam atas kondisi sosial-politik dan krisis multi-sektoral yang sedang melanda Indonesia. Mereka menilai situasi saat ini sebagai tragedi kemanusiaan yang mengancam keutuhan bangsa.

Dalam pernyataan resminya, para akademisi menyoroti gelombang unjuk rasa yang pecah sejak 25 Agustus 2025. Demonstrasi yang dipicu penolakan terhadap tunjangan anggota DPR yang dianggap berlebihan serta kebijakan pemerintah yang memberatkan rakyat itu berujung pada bentrokan. Aparat kepolisian dinilai merespons aksi damai mahasiswa dan masyarakat sipil dengan kekerasan.

Per 2 September 2025, setidaknya 10 warga sipil tercatat menjadi korban jiwa, baik akibat tindakan aparat maupun elemen masyarakat yang tidak bertanggung jawab. Korban-korban tersebut antara lain Affan Kurniawan (Jakarta), Sarina Wati (Makassar), Saiful Akbar (Makassar), Rusdamdiansyah (Makassar), Muhammad Akbar Basri (Makassar), Rheza Sendy Pratama (Yogyakarta), Sumari (Surakarta), Iko Juliant Senior (Semarang), Andika Lutfi Falah (Tangerang), dan Septinus Sesa (Manokwari).

“Kami berduka atas meninggalnya warga sipil yang tidak berdosa dan mengecam dengan tegas kekerasan yang dilakukan oleh aparat terhadap demonstrasi masyarakat sipil hari ini. Kekerasan polisi, meninggalnya warga sipil dalam unjuk rasa damai, dan kerusuhan di berbagai daerah di Indonesia adalah tragedi kemanusiaan yang bisa berdampak buruk pada keutuhan bangsa,” tulis para akademisi dalam keterangannya, Selasa, 2 September 2025.

Mereka menegaskan bahwa hak berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat sudah dijamin dalam UUD 1945. Karena itu, tindakan represif dianggap bertentangan dengan prinsip kemanusiaan dan keadilan sosial.

Lebih jauh, para akademisi menilai krisis yang terjadi bersifat multi-sektoral dan berakar pada kebijakan pemerintah.

“Tuntutan masyarakat sipil yang turun ke jalan semestinya direspons secara konstruktif oleh pemerintah dengan perbaikan kebijakan, bukan dengan kekerasan terhadap warga sipil,” tegas mereka.

Dalam pernyataan sikapnya, para akademisi menyampaikan enam tuntutan utama. Pertama, mengecam kekerasan aparat kepolisian dan tindakan penghakiman sepihak terhadap demonstran di berbagai daerah. Mereka mendesak pejabat kepolisian yang bertanggung jawab untuk mundur serta mendorong reformasi menyeluruh di sektor keamanan dan kepolisian.

Kedua, mendesak Presiden segera melakukan perombakan kabinet secara menyeluruh dengan mengganti menteri-menteri yang dianggap gagal, tidak kompeten, memiliki konflik kepentingan, atau tersangkut korupsi. Mereka menyoroti kinerja pejabat yang berkaitan dengan kebijakan ekonomi, keuangan, agraria, kesejahteraan sosial, serta sektor keamanan.

Ketiga, menuntut reformasi total pada DPR agar lebih transparan dan menghentikan pengesahan kebijakan yang memperlebar kesenjangan sosial. DPR juga didesak meninjau ulang remunerasi yang tidak proporsional dengan kondisi masyarakat.

Keempat, meminta pemerintah menanggapi serius tuntutan rakyat terkait ketimpangan ekonomi dan taraf hidup. Secara khusus, mereka menekankan agar pemerintah mendengarkan tuntutan buruh dalam aksi pada 28 Agustus 2025 serta memperhatikan hak-hak pekerja transportasi daring, pekerja rumah tangga, hingga masyarakat adat.

Kelima, mengecam praktik pembagian jabatan politik di BUMN maupun lembaga negara. Praktik tersebut dianggap merusak profesionalisme dan hanya memperkuat kepentingan politik sempit. Pemerintah diminta menempatkan individu profesional dan berintegritas di posisi strategis.

Keenam, menyerukan para akademisi, tokoh masyarakat, dan pemuka agama untuk berpihak pada rakyat dengan mengkritisi kebijakan pemerintah.

“Para tokoh masyarakat, intelektual, dan terutama pemuka agama adalah penyangga keutuhan bangsa dan memiliki peran vital untuk mendampingi dan membela masyarakat, bukan untuk melegitimasi kebijakan pemerintah tanpa kritik,” tegas mereka.

Para akademisi juga mengingatkan masyarakat untuk tetap waspada terhadap provokasi dan tidak terjebak dalam kekerasan.

“Mari memegang teguh prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab, menghindari segala bentuk kekerasan. Tujuan kita adalah menuntut perubahan yang adil dan mendasar. Waspadai setiap upaya yang mencoba memecah belah rakyat. Mari saling menjaga agar hak konstitusional kita untuk menyuarakan pendapat dan keresahan tetap murni dan berintegritas,” tutup pernyataan itu.

x|close