Ntvnews.id, Jakarta - Pemberdayaan perempuan di Indonesia dinilai penting. Sebab hal itu sama saja menjaga pilar demokrasi. Perempuan dipandang sebagai salah satu pilar demokrasi di Tanah Air.
Hal ini dinyatakan Analis Maha Data dan Gender Laboratorium Indonesia 2045 (LAB 45), Aldy Pahala Rizky dalam acara seminar nasional LAB 45, "Refleksi Delapan Dekade dan Proyeksi Indonesia 2045", di Gedung Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI, di Jakarta, Kamis, 21 Agustus 2025.
"Gerakan perempuan akan selalu hadir untuk mendorong pemerintah membuat kebijakan yang responsif gender. Serta, merespons kebijakan-kebijakan pemerintah yang meleset dari cita-cita para perempuan bangsa," ujar Aldy.
Ia turut menyoroti langkah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang menaruh perhatian terhadap isu perempuan dalam Asta Cita. Terutama, dalam target-target yang tertuang dalam RPJMN 2026, serta pembentukan Ruang Bersama Indonesia (RBI).
"Namun ketidakjelasan pengesahan RUU PPRT (Perlindungan Pekerja Rumah Tangga) kembali menjadi pertanyaan akan keseriusan pemerintah dalam mencapai target pemberdayaan perempuan," jelas Aldy.
Menurut Aldy, pemerintah harus masif mendengarkan dan menyerap aspirasi gerakan-gerakan akar rumput. Gerakan akar rumput itu, harus menjadi motivasi pemerintah dalam melakukan perubahan-perubahan dari sisi kebijakan sesuai target.
"Exclusion by Gender Index dari V-Dem berbicara soal aksesibilitas yang dirasakan perempuan dari kebijakan yang diimplementasikan pemerintah. Semakin mendekati skor 0, maka tingkat eksklusi dari negara semakin rendah," tutur Aldy.
Sementara, Analis Utama Maha Data dan Gender LAB 45, Ayu Gendis Wardani menyoroti Indeks Ketimpangan Gender (IKG) dan juga Gender Inequality Index (GII).
"IKG dan GII ini dipakai guna melihat bagaimana pemerintah mengukur pemberdayaan perempuan. Dan, menyandingkannya dengan negara-negara global, terutama negara ASEAN dan Nordik," ujar Ayu.
Menurut dia, apabila pergerakan dua indikator itu semakin mendekati skor 0, maka tingkat ketimpangan semakin rendah. Penggambaran pemberdayaan perempuan Indonesia sejak 1945, kata dia menunjukkan tren penurunan skor dari tahun ke tahun.
"Terutama signifikan pada tahun 1999 (sesaat usai Soeharto lengser dari jabatannya sebagai presiden). Dari nilai 0,696 di tahun 1997 menjadi 0,421 di tahun 1999," tandasnya.