Ntvnews.id, Jakarta - Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni terus mendorong percepatan integrasi sektor kehutanan dalam skema perdagangan karbon di Indonesia. Langkah ini dinilai strategis guna mendukung rehabilitasi kawasan hutan serta menekan laju deforestasi di berbagai wilayah.
"Voluntary carbon market juga akan segera mungkin kita buka, karena dengan terutama merevisi Pepres 98 yang sedang berjalan itu akan memungkinkan pihak swasta untuk berinvestasi," ujar Menteri Raja Juli saat ditemui usai Kick Off Meeting Concept Note dan Proposal Pendanaan Baru untuk RBP REDD+ CGF Tahap II di Jakarta, Selasa, 12 Agustus 2025.
Ia menekankan bahwa revisi Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 mengenai Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon diharapkan menjadi landasan kuat bagi program pemulihan kawasan hutan dan lahan yang rusak, sekaligus menjadi langkah pencegahan terhadap kebakaran hutan dan kerusakan lingkungan lainnya.
Raja Juli mengungkapkan, saat ini terdapat sekitar 6,5 juta hektare lahan terdegradasi yang membutuhkan proses rehabilitasi agar bisa kembali ke kondisi optimal. Perubahan regulasi ini, menurutnya, dapat menjadi pintu masuk pendanaan dari mekanisme karbon untuk membiayai upaya tersebut.
"Dengan kemudian kita membuka voluntary carbon market ini, kita berharap akan ada investasi untuk menanam di daerah-daerah yang tandus itu dan konsekuensinya tentu swasta mendapatkan insentif dari usaha mereka. Tapi saya kira ini juga akan baik untuk pendapatan negara melalui pajak dan lain sebagainya, sebuah mekanisme yang akan kita bicarakan bersama," jelasnya.
Sebelumnya, Raja Juli sempat menargetkan perdagangan karbon sektor kehutanan dapat dimulai pada Juli tahun ini. Namun realisasinya mengalami penundaan karena revisi Perpres 98/2021 masih dalam tahap finalisasi.
Dalam penjelasannya pada Maret lalu, ia menyebut bahwa implementasi awal perdagangan karbon akan difokuskan pada dua skema utama, yaitu hutan yang dikelola oleh pihak swasta melalui Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) serta program Perhutanan Sosial. Kedua skema tersebut memiliki potensi serapan karbon yang bervariasi.
PBPH diperkirakan mampu menyerap 20 hingga 58 ton CO₂ per hektare, dengan estimasi nilai 5–10 dolar AS per ton CO₂. Sementara itu, skema Perhutanan Sosial dapat mencapai tingkat penyerapan hingga 100 ton CO₂ per hektare, dengan harga yang bisa menyentuh 30 euro per ton CO₂.
Diperkirakan pada tahun 2025, potensi total perdagangan karbon dari sektor kehutanan dapat mencapai 26,5 juta ton CO₂, dengan nilai transaksi yang diproyeksikan antara Rp1,6 triliun hingga Rp3,2 triliun per tahun.
(Sumber: Antara)