Ntvnews.id, Jakarta - Utusan Khusus Presiden RI untuk bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo, menyampaikan bahwa pemerintah memproyeksikan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) secara signifikan akan mulai terlihat pada 2030. Hal itu ia sampaikan dalam acara Investing on Climate di Jakarta, Jumat, 5 Desember 2025.
Dalam paparannya, Hashim menjelaskan bahwa pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi nasional dapat mencapai 8 persen. Untuk mencapai target tersebut, diperlukan peningkatan kebutuhan listrik dan pembangunan di berbagai sektor, yang pada tahap awal berpotensi meningkatkan emisi GRK.
"Kita perkirakan dalam lima tahun ke depan memang emisi akan naik. Tapi, dalam 2030-2031 emisi akan semakin berkurang. Itu akibat program dari PLN dan ada beberapa mitigasi-mitigasi," tuturnya.
Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 menjadi salah satu instrumen kunci. Dalam rencana tersebut, pemerintah memproyeksikan 76 persen pembangkit listrik pada 2034 akan bersumber dari Energi Baru Terbarukan (EBT). Pemerintah juga memasukkan rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir sebagai bagian strategi transisi energi.
Selain sektor energi, upaya pemulihan lingkungan turut diperkuat. Pemerintah menargetkan pemulihan dan reforestasi lahan kritis seluas 12 juta hektare untuk membantu meredam potensi peningkatan emisi.
"Ini program baru, sudah diumumkan Presiden pada Sidang Umum PBB di New York tanggal 23 September yang lalu dan itu juga disambut positif, luar biasa positif," tuturnya.
Baca Juga: Hashim Ajak Media Nasional Edukasi Publik Tentang Perubahan Iklim
Melalui strategi ini, sektor kehutanan diharapkan dapat mencapai kondisi net sink pada 2030, atau dikenal dengan FOLU Net Sink 2030, yaitu ketika kemampuan penyerapan emisi lebih besar dibandingkan emisi yang dihasilkan. Hal ini dirancang untuk mengimbangi sektor energi, yang diperkirakan baru akan mencapai puncak emisi pada 2038. Sektor kehutanan diproyeksikan menyerap hingga -206 juta ton CO₂ ekuivalen (CO₂e) pada 2035.
Pemerintah juga terus mendorong pengembangan karbon biru, mengingat kemampuan ekosistem seperti mangrove dan padang lamun dalam menyimpan cadangan karbon di bawah permukaan tanah.
Sebelumnya, Indonesia telah resmi menyerahkan dokumen Enhanced Second Nationally Determined Contribution (SNDC) kepada Sekretariat UNFCCC menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-30 (COP30) di Brasil pada November 2025. Dalam dokumen tersebut, implementasi SNDC dijadwalkan berlangsung mulai 2031 hingga 2035.
Dokumen itu memuat dua skenario target emisi, yakni Low Carbon Compatible with Paris Agreement (LCCP) Low atau LCCP-L dan LCCP High atau LCCP-H. Pada 2031, skenario LCCP-L memproyeksikan emisi sebesar 1,3 juta ton CO₂e, sedangkan LCCP-H sebesar 1,4 juta ton CO₂e. Pada akhir periode 2035, emisi diproyeksikan berada pada angka 1,257 juta ton untuk LCCP-L dan 1,488 juta ton untuk LCCP-H.
(Sumber: Antara)
Utusan Khusus Presiden RI bidang Iklim dan Energi Hashim Djojohadikusumo (kanan depan) mendengarkan penjelasan mengenai batik yang menampilkan kekayaan biodiversitas Indonesia dalam acara Investing on Climate di Jakarta, Jumat 5 Desember 2025. ANTARA/Prisca Triferna. (Antara)