Ntvnews.id, Jakarta - Kebijakan yang dinilai memberatkan industri hasil tembakau (IHT) kembali menuai kritik, terutama karena dikhawatirkan dapat memperparah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
Serikat pekerja menyoroti perlunya pemerintah menimbang ulang regulasi yang dinilai tak ramah terhadap sektor ketenagakerjaan, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi global akibat kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump yang dinilai mengganggu stabilitas pasar.
PHK massal dikhawatirkan akan menyebabkan peningkatan angka pengangguran, memperbesar tingkat kemiskinan, serta melemahkan daya beli masyarakat, yang pada akhirnya mengancam laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Kekhawatiran ini semakin diperkuat dengan penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang mengatur pembatasan kandungan gula, garam, dan lemak (GGL), serta pelarangan zonasi penjualan dan iklan rokok.
Baca Juga: Hindari PHK, 3.000 Pekerja Perhotelan di Jabar Dapat Pengurangan Jam Kerja
Kementerian Kesehatan bahkan telah menyusun aturan turunan berupa Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) untuk mendukung implementasi PP tersebut.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, mengungkapkan kekhawatirannya bahwa aturan ini akan berdampak buruk pada dunia usaha dan sektor ketenagakerjaan. Ia menilai bahwa pendekatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terlalu berfokus pada aspek kesehatan, tanpa mempertimbangkan konsekuensi bagi para pekerja.
"Bila industri rokok diatur dengan aturan Kemenkes yang ketat, produksi rokok akan menurun dan berujung pada PHK," ujar Said dalam keterangannya, Kamis, 8 Mei 2025.
Menurut Iqbal, masih terdapat ketimpangan antara pendekatan sektor kesehatan dan ketenagakerjaan dalam penyusunan kebijakan. Ia menyebut bahwa Kemenkes terlalu mendesak pembatasan peredaran rokok tanpa memikirkan efek luasnya terhadap para pekerja di IHT.
Baca Juga: Ini Penyebab 24.036 Orang Kena PHK Sejak Awal Tahun
“Harus ada solusi win-win, tidak bisa ego sektoral kesehatan mengabaikan ketenagakerjaan, begitu sebaliknya. Duduk bersama dan petakan,” tegasnya.
Iqbal menekankan bahwa penyusunan kebijakan seperti ini semestinya melibatkan berbagai perspektif, tidak semata dari aspek kesehatan saja. Ia mendesak agar para menteri terkait menjalin koordinasi untuk mencapai kesepakatan yang lebih menyeluruh.
"Menteri Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan harus membuat kesepakatan. Tidak pernah ada kesepakatan antara Kemenkes dan Kemenaker, padahal aturan Kemenkes bisa berujung pada PHK seperti pasal-pasal tembakau di PP 28/2024. Itu langkah pertama, duduk bersama," ungkapnya.
Ia juga menilai pentingnya pelibatan industri, termasuk para produsen rokok, dalam penyusunan kebijakan agar implementasinya tidak berdampak buruk terhadap tenaga kerja.
Dalam forum Sarasehan Ekonomi bersama Presiden RI Prabowo Subianto dan sejumlah kementerian, Iqbal mengungkapkan bahwa ancaman PHK massal masih membayangi hingga 50 ribu pekerja dalam tiga bulan ke depan. Angka ini merupakan kelanjutan dari gelombang PHK sebelumnya yang telah berdampak pada sekitar 60 ribu buruh.
Baca Juga: Menteri Tenaga Kerja: Januari sampai April 2025, 24.036 Orang Kena PHK
Iqbal mengingatkan pemerintah agar tidak memunculkan persepsi diskriminatif terhadap pelaku usaha yang patuh terhadap peraturan, sementara pihak yang tidak mematuhi justru diuntungkan. Ia mencontohkan bagaimana pelarangan iklan dan pembatasan zonasi bisa memperluas peredaran rokok ilegal.
Sementara itu, Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I), Janoe Arijanto, mengungkapkan bahwa PP 28/2024 juga akan memukul sektor periklanan. Ia menjelaskan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, iklan rokok merupakan salah satu sumber pendapatan terbesar bagi industri periklanan, bahkan masuk dalam 10 besar penyumbang iklan terbesar.
"Berkurangnya iklan rokok di banyak media tentu akan mengurangi pendapatan iklan," imbuhnya.
Janoe menyebut bahwa pembatasan terhadap iklan rokok merupakan bentuk pengetatan regulasi yang memberi dampak besar pada pelaku iklan luar ruang seperti billboard dan baliho.
"Kawan-kawan yang bergerak di iklan luar ruang (billboard dan baliho) merasakan dampaknya. Peraturan tentang larangan iklan rokok dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan misalnya, mengurangi jumlah titik billboard yang bisa digunakan untuk iklan rokok," paparnya.
Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi RI Tak sampai 5 Persen di Kuartal I 2025, Luhut: Tak Perlu Khawatir
Ia juga mempertanyakan kejelasan definisi satuan pendidikan, terutama apakah lembaga kursus atau bimbingan belajar juga masuk dalam kategori tersebut. Ambiguitas ini menambah ketidakpastian dalam pelaksanaan teknis aturan di lapangan.
Ketidakjelasan definisi ini bisa menyebabkan pasal-pasal mengenai pengaturan tembakau dalam PP 28/2024 diterjemahkan sebagai larangan pemasangan iklan di wilayah pendidikan non-formal, yang tentu menyulitkan pelaku usaha iklan luar ruang.
Padahal, selama ini pelaku periklanan sudah mematuhi Etika Pariwara yang mengatur tata cara beriklan dengan etis dan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Karena itu, ia mendorong pemerintah untuk lebih melibatkan industri secara langsung dalam proses penyusunan kebijakan.
"Dengan cara seperti itu, pemerintah bisa mendengar perspektif dari berbagai pihak tentang bagaimana pengaturan tersebut bisa lebih relevan, baik dari sisi kesehatan masyarakat maupun dari sisi ekonomi," tutup Janoe.