Ntvnews.id, Jakarta - Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang semakin meluas di sektor industri padat karya di Indonesia menjadi sinyal kuat bagi pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret.
Industri-industri seperti tekstil, garmen, alas kaki, furnitur, hingga hasil tembakau yang menyerap jutaan tenaga kerja dinilai membutuhkan kebijakan yang mampu menjaga keberlangsungan usahanya dan menghindari kehilangan pekerjaan secara massal.
Sektor tekstil dan garmen saja menyerap sekitar 3 juta pekerja, sementara industri alas kaki mempekerjakan sekitar 1 juta orang. Industri furnitur turut berkontribusi besar dengan menyerap sekitar 500 ribu tenaga kerja, sedangkan sektor hasil tembakau melibatkan lebih dari 6 juta tenaga kerja dalam rantai produksinya.
Menyadari pentingnya sektor ini, Presiden Prabowo Subianto telah memberikan arahan kepada jajaran kementerian ekonomi dan Dewan Ekonomi Nasional (DEN) untuk memprioritaskan penguatan industri padat karya. Tujuannya adalah agar sektor-sektor ini bisa masuk dalam skema Proyek Strategis Nasional (PSN) dan memperoleh dukungan lebih maksimal dalam hal daya saing dan investasi.
DEN sendiri menekankan perlunya penyederhanaan regulasi dan kemudahan investasi agar sektor ini tetap efisien dan kompetitif.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Shinta W. Kamdani, menyatakan bahwa langkah pemerintah ini sangat tepat dan layak didukung.
“Sektor padat karya perlu mendapatkan perhatian khusus karena potensinya dalam menciptakan lapangan kerja formal dalam jumlah besar, yang sangat strategis untuk pertumbuhan ekonomi,” ujar Shinta dalam keterangannya, Kamis, 1 Mei 2025.
Shinta juga menyoroti sejumlah kendala yang selama ini dihadapi pelaku industri padat karya.
“Saat ini, industri padat karya nasional cenderung tertekan dan tidak kompetitif karena berbagai tuntutan regulasi dan kesulitan untuk menciptakan efisiensi beban-beban usaha. Karena itu, langkah deregulasi, debirokratisasi, dan fasilitas untuk revitalisasi teknologi industri yang akan dilakukan pemerintah di sektor padat karya betul-betul dibutuhkan dan sangat tepat waktu untuk dilakukan segera agar industri padat karya nasional bisa bertahan dan terus tumbuh,” katanya.
Lebih lanjut, pelibatan aktif dari para pelaku usaha dalam proses perumusan hingga implementasi kebijakan dinilai sangat penting agar kebijakan yang diambil benar-benar efektif dan tepat sasaran.
Sementara itu, Ahmad Heri Firdaus dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyampaikan bahwa niat pemerintah dalam mendorong industri padat karya patut diapresiasi, namun implementasinya harus didukung oleh instrumen kebijakan yang tepat.
“Efisiensi anggaran yang kontraktif seharusnya diimbangi dengan realokasi dari yang kurang produktif ke yang lebih produktif dan berdampak pada ekonomi masyarakat,” katanya.
“Aktivitas bisnis akan terangsang jika ada kepastian pasar, sehingga perlu upaya menjaga daya beli domestik dan ekspansi ekspor," tambah Ahmad.
Pada kuartal pertama 2025, pemerintah telah mengumumkan delapan kebijakan stimulus ekonomi. Tiga di antaranya secara khusus menyasar peningkatan kesejahteraan pekerja, termasuk untuk sektor padat karya, yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2025.
Salah satu kebijakan tersebut adalah insentif pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP) bagi pekerja sektor padat karya hingga akhir tahun, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 10 Tahun 2025.
Insentif ini berlaku untuk pekerja di industri alas kaki, tekstil dan pakaian jadi, furnitur, kulit dan produk kulit, dengan penghasilan bruto maksimal Rp 10 juta per bulan, serta pegawai tidak tetap dengan penghasilan harian rata-rata tidak lebih dari Rp 500 ribu atau total bulanan maksimal Rp 10 juta.
Tak hanya itu, pemerintah juga mengoptimalkan manfaat dari program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) oleh BPJS Ketenagakerjaan. Program ini mencakup manfaat berupa uang tunai, pelatihan keterampilan, serta akses informasi lowongan pekerjaan untuk pekerja yang terdampak PHK.
Selain itu, diskon sebesar 50% atas iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) juga diberikan kepada pelaku industri padat karya sebagai bentuk dukungan tambahan.
Langkah-langkah tersebut diharapkan dapat menjadi bantalan ekonomi yang memadai bagi industri padat karya dan sekaligus menahan laju peningkatan angka pengangguran di tengah tekanan global dan tantangan ekonomi domestik.