KPK Hentikan Penyidikan Kasus Aswad Sulaiman Sejak 17 Desember 2024

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 30 Des 2025, 14:36
thumbnail-author
Satria Angkasa
Penulis
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Editor
Bagikan
Tersangka mantan Bupati Konawe Utara Aswad Sulaiman (tengah), bersiap meninggalkan gedung KPK usai diperiksa di Jakarta, Selasa 17 Oktober 2025. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/ama/aa. Tersangka mantan Bupati Konawe Utara Aswad Sulaiman (tengah), bersiap meninggalkan gedung KPK usai diperiksa di Jakarta, Selasa 17 Oktober 2025. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/ama/aa. (Antara)

Ntvnews.id, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan telah menghentikan penyidikan perkara dugaan korupsi yang melibatkan mantan Bupati Konawe Utara, Aswad Sulaiman. Penghentian penyidikan tersebut dilakukan pada 17 Desember 2024, saat KPK berada dalam periode kepemimpinan 2024–2029 di bawah Ketua Setyo Budiyanto.

Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menjelaskan bahwa keputusan tersebut diambil setelah melalui rangkaian ekspose perkara sepanjang tahun 2024.

“Setelah melalui serangkaian proses ekspose di tahun 2024, perkara ini diputuskan untuk dihentikan dengan menerbitkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) tertanggal 17 Desember 2024. Penerbitan SP3 ini sudah melalui upaya optimal dalam penyidikan yang panjang,” ujar Budi Prasetyo kepada para jurnalis di Jakarta, Selasa, 30 Desember 2025.

Budi menyampaikan bahwa sebelum menghentikan penyidikan, KPK telah melakukan berbagai upaya maksimal untuk membuktikan adanya perbuatan melawan hukum, baik terkait dugaan kerugian keuangan negara maupun dugaan suap.

Terkait dugaan kerugian keuangan negara, Budi menjelaskan bahwa KPK tidak memiliki cukup alat bukti lantaran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI selaku auditor negara menyatakan tidak dapat menghitung nilai kerugian tersebut.

“Dalam surat BPK, disampaikan bahwa kerugian negara tidak bisa dihitung karena tambang yang belum dikelola tidak tercatat sebagai keuangan negara atau daerah, termasuk tambang yang dikelola perusahaan swasta tidak masuk dalam lingkup keuangan negara,” katanya.

Baca Juga: Eks Pimpinan Desak KPK Buka-bukaan Rp2,7 Triliun di Kasus Mantan Bupati Konawe Utara

Oleh karena itu, lanjut Budi, BPK berpandangan bahwa aktivitas pertambangan yang menjadi pokok perkara dalam kasus Aswad Sulaiman, meskipun diduga terjadi penyimpangan dalam proses penerbitan izin usaha pertambangan (IUP), hasil tambangnya tidak dapat dikategorikan sebagai kerugian negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Sementara itu, untuk dugaan tindak pidana suap, Budi menyatakan bahwa KPK tidak dapat melanjutkan penyidikan karena perkara tersebut telah melewati batas waktu penuntutan atau kedaluwarsa.

Sebelumnya, pada 3 Oktober 2017, KPK menetapkan Aswad Sulaiman—yang menjabat sebagai Penjabat Bupati Konawe Utara periode 2007–2009 serta Bupati Konawe Utara periode 2011–2016, sebagai tersangka dugaan korupsi. Perkara tersebut berkaitan dengan penerbitan izin kuasa pertambangan eksplorasi dan eksploitasi, serta izin usaha pertambangan operasi produksi oleh Pemerintah Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, pada kurun 2007–2014.

Dalam perkara itu, KPK menduga perbuatan Aswad Sulaiman menyebabkan kerugian keuangan negara sekurang-kurangnya Rp2,7 triliun, yang bersumber dari penjualan hasil produksi nikel yang diduga diperoleh melalui proses perizinan yang melawan hukum.

Selain dugaan kerugian negara, KPK juga menduga Aswad Sulaiman menerima suap hingga Rp13 miliar selama periode 2007–2009 dari sejumlah perusahaan yang mengajukan izin kuasa pertambangan.

Pada 14 September 2023, KPK sempat berencana melakukan penahanan terhadap Aswad Sulaiman. Namun, rencana tersebut batal dilaksanakan karena yang bersangkutan dilarikan ke rumah sakit.

Selanjutnya, pada 26 Desember 2025, KPK mengumumkan penghentian penyidikan perkara tersebut dengan alasan tidak ditemukannya kecukupan alat bukti. Sehari kemudian, pada 29 Desember 2025, KPK mengungkapkan bahwa kendala utama terletak pada ketidakmampuan BPK RI dalam menghitung kerugian negara, sehingga KPK tidak memiliki dasar pembuktian yang memadai untuk melanjutkan proses hukum.

Pada 30 Desember 2025, Wakil Ketua KPK periode 2015–2019 Saut Situmorang menyatakan bahwa perhitungan kerugian negara sebesar Rp2,7 triliun yang dilakukan pada masa kepemimpinannya bukanlah perhitungan yang dipaksakan, melainkan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

(Sumber: Antara)

x|close