Ntvnews.id, Jakarta - Rencana pengesahan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) DKI Jakarta mendapat penolakan dari sejumlah pelaku usaha, mulai dari industri perhotelan hingga pedagang pasar. Mereka menilai sejumlah ketentuan dalam rancangan regulasi tersebut, termasuk pembatasan zonasi, pelarangan penjualan, dan aturan terkait produk tembakau, berpotensi menekan pemulihan ekonomi sektor perhotelan serta memukul pendapatan pedagang kecil di ibu kota.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta, Sutrisno Iwantono, menyampaikan bahwa kondisi industri perhotelan kini masih jauh dari stabil. Hotel-hotel di Jakarta, kata dia, belum sepenuhnya bangkit dari tekanan pandemi sementara biaya operasional terus meningkat.
“Bagi industri hotel, kondisi saat ini memang masih cukup berat. Banyak hotel masih tertatih-tatih karena beberapa hal: okupansi belum kembali stabil, biaya operasional seperti listrik dan tenaga kerja terus naik, sementara daya beli masyarakat masih lemah,” ujar Sutrisno Iwantono dalam keterangannya, Kamis, 11 November 2025.
Menurut Iwantono, pelaku usaha tidak menolak keberadaan aturan Kawasan Tanpa Rokok, namun berharap pembentuk kebijakan membuka ruang dialog agar regulasi yang lahir dapat mempertimbangkan kondisi aktual di lapangan. Ia menegaskan bahwa keberhasilan implementasi peraturan justru sangat bergantung pada keterlibatan pihak-pihak yang terdampak.
Baca Juga: Bea Cukai Gagalkan Penyelundupan Garmen Ilegal hingga Mesin Rokok, Ada yang Asal China
“Karena itu, kami bukan sedang menolak atau melawan kebijakan pemerintah. Yang kami minta hanyalah agar kondisi riil di lapangan juga didengar. Pelaku usaha berharap ada ruang dialog supaya kebijakan yang dibuat tidak malah membebani industri yang sedang berusaha bangkit,” tegasnya.
Keluhan serupa datang dari para pedagang pasar. Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Mujiburohman menilai pasal-pasal yang mengatur pelarangan penjualan serta pembatasan pemajangan dan iklan rokok berpotensi menghilangkan sebagian besar pemasukan pedagang kecil. Selain kehilangan omzet penjualan, pedagang juga akan terdampak hilangnya pemasukan tambahan dari iklan produk tembakau.
Ia juga mengritisi rencana larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah dan area bermain anak. Menurutnya, kebijakan tersebut sulit diterapkan di Jakarta yang memiliki kepadatan tinggi dan berlapis-lapis aktivitas ekonomi.
“Aturan tersebut dapat berdampak negatif kepada anggota kami karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum terutama pada pasar, kios, serta toko kelontong yang sudah lebih dulu ada dan berdekatan dengan sekolah,” papar dia.
Mujiburohman menyebut potensi penurunan pendapatan pedagang bisa mencapai 30 persen apabila Raperda KTR diberlakukan. Ia berharap DPRD DKI Jakarta mempertimbangkan kembali kondisi ekonomi masyarakat sebelum melanjutkan pembahasan regulasi ini.
Ilustrasi: Seorang aktivis yang tergabung dalam Koalisi Warga Untuk Jakarta Bebas asap Rokok (Smoke Free Jakarta) menempelkan stiker saat melakukan kampanye pemasangan penanda larangan merokok di angkutan umum di Terminal Senen Jakarta. (ANTARA)