Ntvnews.id, Jakarta - Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Sumatera Barat (Sumbar), Sumatera Utara (Sumut), dan Aceh pada penghujung November 2025 meninggalkan kerusakan besar.
Hujan deras yang turun tanpa henti selama beberapa hari menyebabkan sungai meluap, lereng perbukitan runtuh, dan ratusan desa terendam. Infrastruktur vital terputus, sementara bencana ini menelan ratusan korban jiwa.
Data terakhir Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 3 Desember mencatat lebih dari 770 korban tewas dan 440 orang hilang. Dalam penilaian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), bencana tersebut bukan sekadar fenomena alam, melainkan akumulasi persoalan ekologis yang telah lama terjadi.
Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Boy Jery Even Sembiring, menjelaskan meski hujan ekstrem memicu bencana, faktor kerusakan lingkungan di kawasan hulu daerah aliran sungai (DAS) turut memperparah skala kehancuran.
"Bencana ini terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Benar ada faktor hidrometeorologis, tapi kerusakan lingkungan dan aktivitas investasi membuat korbannya jauh lebih besar," ujar Boy saat menjadi narasumber dalam DPO Podcast yang dipandu Pemimpin Redaksi Ntvnews.id, Ismoko Widjaya.
Walhi menyebut hulu DAS di Ekosistem Harangan Tapanuli (Batang Toru) sebagai salah satu titik paling kritis. Di wilayah ini, Walhi mencatat keberadaan 631 perusahaan tambang, kehutanan, dan perkebunan, belum termasuk aktivitas ilegal seperti tambang emas dan penebangan kayu.
Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Boy Jery Even Sembiring saat menjadi narasumber dalam DPO Podcast yang dipandu Pemimpin Redaksi Ntvnews.id, Ismoko Widjaya.
Baca Juga: Walhi Bongkar Sumber Bencana di Sumatera yang Tewaskan 604 Orang
Menurut Boy, aktivitas tersebut menurunkan daya tampung lingkungan. "Daya tampung lingkungan itu kemampuan alam menahan air, pencemaran, dan gangguan lain. Sekarang sudah melampaui batasnya," katanya.
Walhi juga mencatat bahwa sejak 2016 hingga 2025, hampir 1,4 juta hektare hutan hilang di Sumatra. Dalam lima hingga sepuluh tahun terakhir, Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat kehilangan 20.000 hingga 60.000 hektare hutan alam setiap tahun.
Kehilangan hutan ini tidak hanya terjadi di area konsesi, tetapi juga di kawasan hutan negara yang seharusnya dilindungi. Walhi menilai hal tersebut menunjukkan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum.
Di Sumatra Utara, Walhi mengidentifikasi tujuh perusahaan besar di kawasan Batang Toru yang dinilai merusak habitat spesies kunci, mengganggu kehidupan masyarakat, dan memicu bencana besar di wilayah tersebut.
Boy juga menyoroti praktik korporasi yang disebutnya sebagai "green code" serta dampak dari perusahaan seperti Toba Pulp Lestari.
Walhi menegaskan, bencana ini bukan murni "act of God", tetapi juga hasil dari intervensi modal yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan.
"Kita menyebut ini bencana ekologis, bahkan kapitalogenik, bencana yang lahir karena intervensi kapital. Keuntungannya diraih sebagian pihak, tapi kerugiannya dirasakan masyarakat," kata Boy.
Warga mengamati sampah kayu gelondongan pascabanjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Sabtu, 29 November 2025. (Foto: ANTARA FOTO/Yudi Manar/agr/am)
Walhi menilai ada empat kesalahan utama dalam tata kelola lingkungan: penerbitan izin yang mengabaikan daya tampung, perencanaan kebijakan yang lemah, perilaku korporasi yang merusak, dan fungsi pengawasan yang tidak berjalan.
Dalam konteks pertanggungjawaban, Boy menegaskan, negara adalah pihak pertama yang harus diminta bertanggung jawab karena menjadi pemberi izin. Selain itu, korporasi maupun individu yang berkontribusi pada kerusakan harus menghadapi tuntutan hukum.
"Negara bisa mewakili kepentingan korban, atau masyarakat langsung menuntut perusahaan untuk mengganti kerugian dan melakukan pemulihan. Kalau pemulihan tidak dilakukan, bencana seperti ini akan terulang," tegasnya.
Boy menekankan, setelah fase tanggap darurat dan pemulihan korban, pemerintah harus melakukan evaluasi menyeluruh atas perizinan dan praktik industri di kawasan rawan bencana.
"Otoritas pemberi izin ada pada negara, jadi negara wajib melakukan koreksi," tukas Boy.
Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Boy Jery Even Sembiring saat menjadi narasumber dalam DPO Podcast yang dipandu Pemimpin Redaksi Ntvnews.id, Ismoko Widjaya.