Ntvnews.id, Jakarta - Orang tua seorang turis yang meninggal secara misterius di sebuah hostel pesta di Bali memutuskan berhenti mencari jawaban atas penyebab kematian putri tunggal mereka.
Keputusan itu diambil setelah Deqing Zhuoga (24) ditemukan tewas sendirian di kamar asrama Clandestino Hostel di Canggu, tempat ia dan puluhan tamu lain diduga mengalami keracunan massal hingga beberapa di antaranya harus dirawat di rumah sakit.
Zhuoga meninggal di kamar hostel yang tarifnya 9 dolar AS per malam pada saat lokasi tersebut masih menjalani proses fumigasi untuk mengatasi wabah kutu kasur. Namun penyelidikan terbaru yang dikutip Daily Mail mengungkap tidak ada jejak pestisida dalam sistem pencernaannya.
Keluarga menyebut tidak pernah ada pemberitahuan dari pihak hostel, kepolisian Bali, maupun Kedutaan Besar Tiongkok mengenai tragedi tersebut.
Tanpa informasi apa pun, mereka sampai mengunggah foto orang hilang di media sosial demi mencari keberadaan putrinya, hingga akhirnya seorang warga lokal yang berinisiatif menghubungi mereka untuk menyampaikan kabar duka.
Tidak dapat berbahasa Inggris, kedua orang tua Zhuoga kemudian mencari panduan dari para biksu di Tiongkok. Atas keyakinan budaya, mereka memilih menghentikan komunikasi dan menolak menggali lebih jauh mengenai penyebab kematian putrinya.
Mereka meyakini konflik atau pertikaian apa pun dapat mengganggu perjalanan arwah anak mereka menuju alam baka, sehingga membiarkannya pergi dalam damai adalah bentuk penghormatan terakhir.
Namun teman-teman Zhuoga dan para tamu hostel yang selamat bertekad melanjutkan perjuangan untuk menutup hostel tersebut, meyakini keselamatan wisatawan lainnya masih terancam.
Baca Juga: Seorang Turis Tewas Misterius di Kamar Mandi Hotel
“Dia teman yang luar biasa dan punya banyak rencana hebat,” ujar sahabatnya, Ms Avo, kepada Daily Mail.
“Tidak mungkin semuanya berakhir seperti ini, ini sangat tidak adil.”
Ms Avo menyerukan agar pemerintah menindak tegas bahaya yang mengancam wisatawan di Bali karena, menurutnya, insiden seperti ini “terjadi hampir setiap hari di Bali.”
Zhuoga jatuh sakit parah pada 31 Agustus, hanya beberapa hari setelah proses fumigasi dilakukan. Sekitar 20 tamu mengalami muntah hebat, sepuluh di antaranya memerlukan perawatan serius dan seorang tamu harus masuk ICU untuk bertahan hidup. Zhuoga ditemukan tidak sadarkan diri di kamarnya pada 2 September pukul 11.00 dan dinyatakan meninggal.
Keluarganya di Tiongkok tidak mengetahui bahwa ia sakit. Mereka terakhir berkomunikasi dengan Zhuoga pada 31 Agustus dan mulai cemas ketika pesan serta panggilan tidak dibalas. Karena kendala bahasa, orang tuanya meminta bantuan sepupunya, yang kemudian mulai menghubungi teman-teman Zhuoga dan membuat unggahan permohonan informasi di media sosial. Pada 6 September — empat hari setelah Zhuoga meninggal — sepupu itu mengirim pesan ke hostel menanyakan keberadaannya.
Balasan baru datang keesokan hari. Namun, alih-alih menjelaskan kejadian atau meminta nomor kontak keluarga, hostel hanya mengarahkan untuk menghubungi polisi.
Clandestino Hostel di Canggu yang seharga $9 per malam telah menerima banyak keluhan tentang kutu busuk (Daily Mail)
Isi pesannya adalah:
“Dear Madam, Kami memahami Anda sedang mencari Deqing dan pasti ini sangat mengkhawatirkan bagi Anda.
Polisi telah terlibat dalam suatu hal yang menyangkut dirinya, dan mereka yang akan memberikan informasi.
Kami merekomendasikan Anda menghubungi polisi lokal atau kedutaan untuk segala informasi.
Sayangnya pihak kepolisian tidak membagikan rincian kasus sehingga kami tidak dapat memberikan informasi lebih lanjut saat ini. Regards, Clandestino.”
Ms Avo mengecam respons tersebut, menyebut pihak hostel tidak memberikan kontak polisi mana pun, membuat keluarga tidak tahu harus menghubungi siapa. Ia menambahkan bahwa keluarga sebenarnya telah menghubungi kedutaan, namun tidak mendapat informasi karena hostel salah melaporkan kewarganegaraan korban.
Akhirnya, dengan bantuan warga lokal, satu staf hostel secara diam-diam mengonfirmasi tragedi itu. Kedua orang tua Zhuoga kemudian harus melalui perjalanan berat untuk mencari jasad putri mereka karena tubuhnya dipindahkan dua kali ke lokasi kamar jenazah berbeda tanpa identitas.
“Mereka bahkan tidak bisa berbahasa Inggris, kemungkinan semua ini tidak masuk akal bagi mereka,” kata Ms Avo.
“Mereka hanya melihat apa yang menimpa putri mereka dan sekarang harus menerimanya — itu sangat berat.
Hati mereka hancur setelah menghabiskan seluruh hidup membesarkan satu-satunya anak. Tapi saya mengerti, sekarang mereka hanya ingin kedamaian.”
Baca Juga: 3 Turis Tewas Tersambar Petir di Situs Bersejarah
Kepala Unit Investigasi Polres Badung, Inspektur Pertama Azarul Ahmad, menyatakan pada Rabu bahwa para saksi telah diperiksa dan muntahan korban diuji di Laboratorium Forensik Denpasar.
“Tidak ada senyawa pestisida, narkotika, sianida, logam berat seperti arsenik, bahan kimia berbahaya, atau metanol yang terdeteksi,” katanya.
Ahmad menyebut masih menunggu pemeriksaan terhadap makanan dan obat-obatan di tas korban, sementara autopsi tidak menemukan tanda kekerasan maupun benturan. Namun terdapat gejala khas keracunan makanan.
“Penyebab kematian tidak dapat ditentukan secara absolut, namun kematian akibat iritasi saluran pencernaan yang menyebabkan diare, kemudian dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit, tidak dapat dikesampingkan,” ujarnya.
Laporan kepolisian menyebut staf hostel sempat membawa Zhuoga ke dokter, namun ia merasa khawatir soal biaya, sehingga akhirnya dibawa kembali ke kamarnya. Keesokan paginya, resepsionis Eka Ayu menemukan ia belum check-out, lalu membuka kamar dan mendapati tubuhnya telungkup, hanya mengenakan kemeja biru yang tidak terkancing.
Polisi menemukan muntahan dalam tempat sampah di samping tempat tidur. Pemeriksaan forensik menyimpulkan Zhuoga meninggal karena gastroenteritis akut dan syok hipovolemik, dan kemungkinan kematiannya dapat dicegah dengan perawatan medis memadai.
Zhuoga sempat mengikuti makan malam bersama beberapa tamu, termasuk Leila Li, yang kemudian selamat setelah menjalani perawatan intensif lima hari. Setelah makan bersama, tamu mulai roboh di lorong, muntah darah, pingsan, dan memohon pertolongan staf.
Lebih dari 20 orang mengalami keracunan dan 10 kritis, dengan banyak tamu akhirnya dibawa ke pusat medis lokal dan RS BIMC.
Li mengatakan saat ia dibawa dengan ambulans, kondisi Zhuoga sudah terlalu lemah untuk bergerak.
Clandestino Hostel di Canggu yang seharga $9 per malam telah menerima banyak keluhan tentang kutu busuk (Daily Mail)
Ia menuturkan:
“Saya mengirim pesan dari rumah sakit memintanya pergi berobat juga, tapi dia tidak pernah membalas.”
Li menyatakan dokter memastikan ia mengalami keracunan pestisida dan keracunan makanan.
“Saya membaik setiap kali keluar dari hostel, tetapi ketika kembali ke kamar, gejalanya muncul lagi,” ujarnya.
Menurutnya, Zhuoga sempat menceritakan bahwa asrama di sebelah kamar mereka baru saja ditutup untuk fumigasi akibat wabah kutu kasur.
Li — bersama Melanie Irene, Alisa Kokonozi, Alahmadi Yousef Mohammed, Cana Clifford Jay dan Leslie Zhao — tercatat sebagai korban dalam laporan resmi Polsek Kuta.
Inspektur Ahmad mengonfirmasi akan ada penyelidikan lanjutan karena banyak tamu mengalami gejala serupa. Namun para penyintas menilai respons otoritas terlalu lambat dan khawatir ada korban berikutnya.
“Mereka mencoba menutup-nutupi dan saya ingin memperingatkan orang lain agar ini tidak terjadi lagi,” tegas Li.
Turis Tiongkok, Deqing Zhuoga, 20, pingsan di Clandestino Hostel Canggu yang bertarif $9 per malam setelah jatuh sakit parah hanya beberapa hari setelah asrama tersebut diasapi karena wabah kutu busuk. (Daily Mail)