Ntvnews.id, Washington - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menjanjikan pembagian dividen sebesar 2.000 dolar AS (sekitar Rp33,3 juta) kepada warga berpenghasilan menengah dan rendah, yang dananya akan diambil dari pendapatan hasil tarif impor. Namun, sejumlah media dan analis ekonomi di AS menilai gagasan tersebut tidak logis dan bertentangan dengan prinsip ekonomi dasar.
"Orang-orang yang menentang tarif adalah ORANG BODOH! Kita sekarang adalah negara terkaya dan paling dihormati di dunia, dengan hampir tak ada inflasi dan harga saham pasar yang menyentuh rekor tertinggi," tulis Trump melalui unggahannya di platform Truth Social pada Minggu, 9 November 2025. "Dividen setidaknya 2.000 dolar per orang (tidak termasuk orang berpenghasilan tinggi!) akan dibayarkan kepada semua orang."
Trump menambahkan bahwa kebijakan ekonominya telah mendorong “rekor investasi” di sektor manufaktur. Ia juga mengklaim bahwa AS segera akan mulai “melunasi UTANG BESAR KITA”, yang menurut data Departemen Keuangan AS kini telah menembus 38 triliun dolar AS.
Namun, media Wall Street Journal (WSJ) dalam sebuah artikel opini yang diterbitkan pada Minggu menilai janji tersebut tidak rasional. Editorial itu menyebut rencana tersebut sebagai “momen pembelajaran bagi kelas logika di SMA.”
Baca Juga: Trump Janjikan Dividen Rp33 Juta per Orang dari Hasil Tarif Perdagangan
"Mulailah dengan kontradiksi bahwa Tuan Trump dapat membayar rabat tarif dan melunasi utang nasional. Defisit anggaran federal tahunan sekitar 1,8 triliun dolar AS bahkan dengan pendapatan dari tarif, jadi membayar rabat justru akan menambah utang nasional, bukan menguranginya," tulis artikel tersebut.
WSJ juga mempertanyakan alasan pemerintah perlu mengembalikan uang kepada warganya atas kenaikan harga barang akibat tarif. Jika kebijakan tarif benar-benar menguntungkan, kata media itu, seharusnya masyarakat tidak perlu menerima kompensasi berupa rabat.
Sejumlah ekonom pun berpendapat bahwa beban tarif justru paling banyak ditanggung oleh konsumen domestik. Berdasarkan analisis Goldman Sachs pada Oktober lalu, enam bulan setelah tarif diterapkan oleh pemerintahan Trump, konsumen AS sudah menanggung sekitar 55 persen dari total biaya tarif tersebut.
Baca Juga: Tarif AS Berlaku 7 Agustus, Pertamina Tunggu Regulasi Terkait Impor Minyak
Pernyataan Trump muncul di tengah meningkatnya sorotan terhadap kebijakan perdagangannya. Pekan lalu, Mahkamah Agung AS mulai mendengar argumen hukum terkait apakah Trump memiliki kewenangan berdasarkan International Emergency Economic Powers Act (IEEPA) untuk memberlakukan tarif, serta apakah langkah itu melanggar prinsip pemisahan kekuasaan dalam Konstitusi.
Sebelumnya, Pengadilan Perdagangan Internasional AS di New York pada 28 Mei menyatakan tarif era Trump ilegal dan memerintahkan pembatalannya sesuai undang-undang tersebut. Putusan itu kemudian dikuatkan oleh pengadilan banding pada 29 Agustus dengan suara 7 banding 4.
Belum ada kejelasan kapan Mahkamah Agung akan mengeluarkan putusannya. Jika pengadilan akhirnya memutuskan untuk membatalkan kebijakan tarif itu, pemerintahan Trump diperkirakan harus mengembalikan puluhan miliar dolar AS yang telah dikumpulkan dari tarif tersebut.
(Sumber: Antara)
Orang-orang berbelanja di toko Walmart di Rosemead, California, Amerika Serikat, pada 15 Mei 2025. ANTARA/Xinhua/Qiu Chen (Antara)