Mantan Ketua PN Jaksel Dituntut 15 Tahun Penjara dalam Kasus Suap Ekspor CPO

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 29 Okt 2025, 15:15
thumbnail-author
Satria Angkasa
Penulis
thumbnail-author
Beno Junianto
Editor
Bagikan
Sidang pembacaan surat tuntutan kasus dugaan suap terhadap putusan lepas (ontslag) perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu 29 Oktober 2025. ANTARA/Agatha Olivia Victoria. Sidang pembacaan surat tuntutan kasus dugaan suap terhadap putusan lepas (ontslag) perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu 29 Oktober 2025. ANTARA/Agatha Olivia Victoria. (Antara)

Ntvnews.id, Jakarta - Mantan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan periode 2024–2025, Muhammad Arif Nuryanta, dituntut hukuman penjara selama 15 tahun atas dugaan keterlibatannya dalam kasus suap terkait putusan lepas (ontslag) perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) pada 2023–2025.

Dalam sidang pembacaan tuntutan yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung, Syamsul Bahri Siregar, menilai bahwa Arif terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menerima suap secara bersama-sama.

“Hal ini diancam pidana dalam Pasal 6 ayat (2) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,” kata JPU dalam sidang tersebut.

Selain pidana penjara, jaksa juga menuntut Arif untuk membayar denda sebesar Rp500 juta, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan. Arif juga diminta membayar uang pengganti sebesar Rp15,7 miliar, dengan memperhitungkan sejumlah aset yang telah disita penyidik berupa bangunan dan tanah.

Adapun jika terdakwa tidak mampu melunasi uang pengganti dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, jaksa berhak menyita dan melelang harta bendanya. “Dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda lagi yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 6 tahun,” ungkap JPU.

Dalam menjatuhkan tuntutan, jaksa mempertimbangkan sejumlah hal yang memberatkan, antara lain karena Arif dinilai tidak mendukung upaya pemerintah dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), serta telah mencederai kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Jaksa juga menilai terdakwa menikmati hasil kejahatan.

“Sementara hal meringankan yang dipertimbangkan, yakni terdakwa belum pernah dihukum,” tutur JPU.

Baca Juga: Mentan Rencana Kurangi Ekspor CPO hingga 5,3 Juta Ton untuk Dukung Program B50

Dalam perkara ini, Arif diduga menerima uang suap senilai Rp15,7 miliar saat menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat. Uang tersebut diberikan oleh Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan Syafei, yang merupakan advokat atau perwakilan hukum dari tiga korporasi besar di industri sawit, yaitu Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.

Suap itu diterima bersama Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, serta tiga hakim anggota majelis perkara tersebut — Djuyamto, Ali Muhtarom, dan Agam Syarief Baharudin. Total uang suap yang diterima seluruhnya mencapai 2,5 juta dolar AS atau sekitar Rp40 miliar.

Secara rinci, penerimaan pertama berupa uang tunai 500 ribu dolar AS atau sekitar Rp8 miliar. Dari jumlah tersebut, Arif memperoleh Rp3,3 miliar, Wahyu Rp800 juta, Djuyamto Rp1,7 miliar, sementara Agam dan Ali masing-masing menerima Rp1,1 miliar.

Penerimaan kedua berupa uang tunai sebesar 2 juta dolar AS atau setara Rp32 miliar, yang dibagi kepada Arif sebesar Rp12,4 miliar; Wahyu Rp1,6 miliar; Djuyamto Rp7,8 miliar; serta Agam dan Ali masing-masing Rp5,1 miliar.

Atas perbuatannya, Arif didakwa melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 atau Pasal 12 B juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

(Sumber : Antara)

x|close