Ntvnews.id, Jakarta - Bank Indonesia (BI) akan memberikan insentif likuiditas makroprudensial kepada perbankan yang cepat menyesuaikan suku bunga kredit baru sejalan dengan arah pelonggaran kebijakan moneter. Kebijakan ini mulai berlaku efektif pada 1 Desember 2025 untuk memperkuat transmisi moneter.
Deputi Gubernur BI, Juda Agung, dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Oktober 2025 yang digelar secara daring di Jakarta, Rabu, 22 Oktober 2025 menjelaskan bahwa insentif diberikan melalui pengurangan giro bank di BI dalam rangka pemenuhan giro wajib minimum (GWM) yang wajib dipenuhi secara rata-rata.
Insentif berbasis suku bunga kredit atau interest rate channel ini diberikan paling tinggi sebesar 0,5 persen dari dana pihak ketiga (DPK).
Baca Juga: BI Pertahankan BI-Rate 4,75 Persen, Level Terendah Sejak 2022
“Pada intinya, bank-bank yang semakin cepat menurunkan suku bunga kreditnya akan mendapatkan insentif likuiditas, yaitu maksimum 0,5 persen dari DPK-nya melalui pengurangan GWM di BI. Semakin cepat, semakin besar insentif likuiditasnya,” kata Juda.
Lebih lanjut, Juda menjelaskan bahwa bank yang memiliki elastisitas suku bunga kredit baru kurang dari 0,3 tidak akan mendapatkan insentif. Namun, bank dengan elastisitas suku bunga kredit baru antara 0,3 hingga lebih dari 0,6 akan memperoleh insentif.
Untuk elastisitas antara 0,3–0,6, insentif diberikan sebesar 40 basis poin (bps) atau 0,4 persen dari DPK. Sementara untuk elastisitas lebih dari 0,6, insentif mencapai 50 bps atau 0,5 persen dari DPK.
Selain itu, untuk memperkuat transmisi kebijakan moneter dan mempercepat pertumbuhan kredit, BI juga memberikan insentif likuiditas makroprudensial berbasis komitmen penyaluran kredit kepada sektor tertentu.
Baca Juga: Wamendagri Ribka Haluk Tegaskan Sinergi Pemda Papua dan Tolak Pemangkasan Dana Otsus
Berbeda dengan kebijakan sebelumnya yang bersifat backward looking, kebijakan insentif kali ini bersifat forward looking. Bank harus menyampaikan laporan komitmen rencana penyaluran kredit kepada BI untuk memperoleh insentif.
“Kalau yang dulu itu backward looking, yaitu realisasi dulu baru diberikan insentifnya. Kalau sekarang komitmen ke depan itu diberikan insentif. Tentu saja kalau komitmen itu tidak dilakukan, pada akhirnya akan harus dikembalikan, ada sebuah penalti,” ujar Juda.
Adapun total besaran insentif berbasis komitmen penyaluran kredit atau lending channel ditetapkan paling tinggi sebesar 5 persen dari DPK.
Rinciannya, bank yang menyalurkan kredit ke sektor pertanian, industri, dan hilirisasi akan mendapat insentif paling tinggi 1,5 persen dari DPK. Untuk sektor jasa termasuk ekonomi kreatif, insentif maksimal 0,6 persen; sektor konstruksi, real estate, dan perumahan maksimal 1,4 persen; serta sektor UMKM, koperasi, inklusi, dan berkelanjutan maksimal 1,5 persen.
Baca Juga: Angin Kencang Terjang Bekasi, Tenda Hajatan Sampai Roboh
Besaran insentif pada KLM berbasis lending channel juga mempertimbangkan realisasi pertumbuhan kredit dibandingkan komitmen pertumbuhan kredit pada periode sebelumnya.
Sebelumnya, BI telah menerapkan kebijakan insentif likuiditas makroprudensial bagi bank yang menyalurkan kredit ke sektor prioritas dengan besaran 4 persen dari DPK. Kebijakan ini kemudian ditingkatkan menjadi 5 persen per 1 April 2025.
Hingga minggu pertama Oktober 2025, total insentif KLM mencapai Rp393 triliun, disalurkan kepada bank BUMN sebesar Rp173,6 triliun, BUSN sebesar Rp174,4 triliun, BPD sebesar Rp39,1 triliun, dan KCBA sebesar Rp5,7 triliun.
Secara sektoral, insentif KLM disalurkan ke sektor pertanian, perdagangan, manufaktur; sektor real estate, perumahan rakyat, dan konstruksi; sektor transportasi, pergudangan, pariwisata, serta ekonomi kreatif; juga sektor UMKM, ultra mikro, dan hijau.
Baca Juga: Soto Banjar hingga Mangut Gindara Hiasi Jamuan Bilateral Presiden Afrika Selatan di Istana
(Sumber: Antara)