Ntvnews.id, Kinshasa - Sebuah pengadilan militer tingkat tinggi di Republik Demokratik Kongo pada Selasa menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap mantan Presiden Joseph Kabila setelah menyatakannya bersalah atas tuduhan pengkhianatan dan kejahatan perang. Ia didakwa berkolaborasi dengan kelompok pemberontak anti-pemerintah.
Namun, belum jelas bagaimana vonis tersebut dapat dieksekusi karena keberadaan Kabila tidak diketahui. Sejak Juli, ia diadili secara in absentia (tanpa kehadiran) dan terakhir terlihat di depan publik awal tahun ini di sebuah kota yang dikuasai pemberontak. Partai politik Kabila menilai keputusan itu bermuatan politik.
Pengadilan di Kinshasa juga memerintahkan penangkapan segera terhadap Kabila. Pemerintah menuduhnya bekerja sama dengan Rwanda serta kelompok pemberontak M23 yang didukung Rwanda, yang pada Januari lalu berhasil merebut sejumlah kota penting di wilayah timur Kongo yang kaya mineral.
Meski membantah tuduhan tersebut, Kabila sempat menunjukkan dukungannya terhadap gerakan pemberontak dalam sebuah opini yang ia tulis di surat kabar Sunday Times (Afrika Selatan) pada Februari.
Baca Juga: Jakarta dan Kinshasa Kongo Kolaborasi Wujudkan Kota Global Berkelanjutan
Dalam putusan yang dibacakan, pengadilan militer menyatakan Kabila terbukti bersalah atas pengkhianatan, kejahatan perang, konspirasi, dan mengorganisasi pemberontakan bersama M23. Selain hukuman mati, ia juga diwajibkan membayar ganti rugi sebesar 29 miliar dolar AS kepada pemerintah Kongo, ditambah 2 miliar dolar AS masing-masing untuk provinsi Kivu Utara dan Kivu Selatan.
Jaksa penuntut menghadirkan kesaksian dari Eric Nkuba, mantan kepala staf pemimpin pemberontak Corneille Nangaa, yang kini mendekam di penjara setelah divonis pada Agustus 2024 karena terlibat pemberontakan. Nkuba bersaksi bahwa Kabila kerap berkomunikasi melalui telepon dengan Nangaa mengenai rencana menggulingkan pemerintahan Presiden Felix Tshisekedi.
ilustrasi pengadilan dan keadilan (Google)
Menanggapi putusan tersebut, Partai Rakyat untuk Rekonstruksi dan Demokrasi (PPRD) yang dipimpin Kabila menyebutnya sebagai keputusan bermuatan politik. “Kami percaya bahwa tujuan jelas dari kediktatoran yang berkuasa adalah untuk menyingkirkan, menetralkan, seorang aktor politik besar,” kata sekretaris tetap PPRD, Emmanuel Ramazani Shadary, dalam wawancara dengan Associated Press.
Sementara itu, Richard Bondo, kuasa hukum yang mewakili provinsi Kivu Utara dan Kivu Selatan, mengaku puas dengan keputusan pengadilan. “Keadilan yang ditegakkan atas nama rakyat Kongo memberikan kepuasan bagi rakyatnya,” ujarnya.
Baca Juga: Bayi di Kongo Diberi Nama Gilang, Terinspirasi dari Prajurit TNI yang Selamatkan Nyawanya
Joseph Kabila sendiri memimpin Kongo sejak 2001 hingga 2019. Ia naik ke tampuk kekuasaan di usia 29 tahun setelah ayahnya, Presiden Laurent Kabila, tewas terbunuh. Masa jabatannya sempat diperpanjang dengan menunda pemilu selama dua tahun setelah berakhirnya mandat pada 2017. Namun, kandidat yang ia usung kalah dalam pemilu Desember 2018 dari lawan politik lamanya, Felix Tshisekedi, yang memimpin Kongo hingga kini.
Pada Mei lalu, Senat Kongo mencabut kekebalan hukum Kabila, sebuah langkah yang saat itu ia kecam sebagai tindakan diktatorial. Setelah sempat hidup di luar negeri dalam pengasingan, Kabila kembali ke Goma pada April lalu—salah satu kota yang saat ini dikuasai pemberontak. Lokasinya sekarang tidak diketahui.
Konflik berkepanjangan di Kongo kembali meningkat sejak Januari ketika pemberontak M23 melancarkan serangan dan berhasil merebut kota strategis Goma, disusul Bukavu pada Februari. Pertempuran tersebut telah menewaskan sekitar 3.000 orang dan memperburuk salah satu krisis kemanusiaan terbesar di dunia, dengan lebih dari 7 juta warga terpaksa mengungsi.
(Sumber : washington Post)