Ntvnews.id, Jakarta - Ribuan dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) diduga fiktif. Hal ini diungkap Anggota Komisi IX DPR RI Nurhadi.
Menurutnya, sebanyak 5.000 titik dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) program MBG tak kunjung dibangun, meski telah tercatat. Karenanya, dapur tersebut diduga kuat oleh Nurhadi fiktif belaka.
"Angka ini memicu dugaan adanya dapur fiktif, meski BGN menyebut di lokasi tersebut belum dibangun walau sudah tercatat," ujar Nurhadi saat rapat Komisi IX DPR RI dengan Badan Gizi Nasional (BGN), dikutip Jumat, 19 September 2025.
Hal itu terbongkar, saat BGN melakukan pemulihan pada sistemnya. Hasilnya, ada 5.000 unit dapur MBG yang belum ada dapur fisiknya atau fiktif. Nurhadi meminta agar persoalan ini tak berdampak terhadap pemenuhan gizi bagi anak-anak.
Diketahui, sejumlah proyek pembangunan SPPG diduga hanya dilakukan untuk memblokir lokasi dan mengamankan data penerima manfaat. Bahkan, sejumlah yayasan dan perusahaan terindikasi berlomba-lomba membangun dapur MBG demi menjadi mitra BGN, namun tak semua proyek berjalan sesuai rencana.
Nurhadi mengatakan, 5.000 dapur MBG yang tidak beroperasi di lapangan diperkirakan terjadi lantaran adanya oknum yang tahu akan detail seluk-beluk proses pendirian SPPG di BGN.
"Jadi ada oknum yang tahu sistem BGN, tahu dia cara daftarnya seperti apa dan pakai yayasannya dia. Setelah oknum ini mengunci titiknya ternyata dia nggak bangun-bangun dapurnya, dan saat menuju 45 hari dijual-lah titik itu dengan ditawarkan ke investor," jelasnya.
Nurhadi memandang, persoalan ini tidak bisa dipandang sepele. Karena, program MBG menyerap anggaran jumbo yang nilainya mencapai triliunan rupiah.
"Dengan porsi anggaran sebesar itu, transparansi dan akuntabilitas mutlak diperlukan," jelasnya.
"Ribuan titik dapur yang mangkrak bukan sekadar soal teknis, melainkan menyangkut hak anak-anak Indonesia untuk mendapatkan asupan gizi yang layak sesuai mandat program," imbuh Nurhadi.
Nurhadi pun menyoroti lemahnya mekanisme verifikasi dan pengawasan lapangan sejak awal. Ia mempertanyakan penjelasan BGN terkait lokasi yang belum dibangun dapur untuk program MBG tetapi sudah tercatat.
"Bagaimana mungkin ribuan lokasi sudah terdaftar, tetapi tidak menunjukkan progres pembangunan meski melewati tenggat waktu 45 hari," kata Nurhadi.
"Sistem yang longgar membuka celah terjadinya praktik percaloan, dominasi investor besar, hingga penyalahgunaan dana publik, seperti temuan dugaan konglomerasi yayasan oleh lembaga pemantau independen," lanjutnya.
Karenanya, Nurhadi meminta BGN segera mempublikasikan data rinci terkait titik lokasi, status pembangunan, dan jadwal operasional seluruh SPPG. Ia juga meminta BGN untuk memperbaiki sistem verifikasi agar dilakukan paralel sejak proses pengajuan, bukan setelah masalah mencuat.
"BGN harus menjamin percepatan pembangunan agar hak anak-anak atas gizi tidak terus tertunda," katanya.
Baca Juga: Fakta Memilukan, Affan Kurniawan Tewas Dihantam Barracuda Brimob Saat Antar Makanan
Nurhadi pun mendorong peran serta masyarakat sipil, media massa , akademisi, dan organisasi profesi gizi dalam mengawasi implementasi program di lapangan. Menurutnya, kolaborasi dengan lembaga keagamaan dan yayasan mitra harus diarahkan pada penguatan kualitas layanan gizi, bukan sekadar pemenuhan target angka.
"Niat mulia program MBG hanya akan bermakna jika setiap rupiah anggaran benar-benar terkonversi menjadi makanan bergizi yang dikonsumsi anak-anak Indonesia," tuturnya.
"Akuntabilitas harus setara dengan besarnya anggaran. DPR RI akan terus mengawal agar hak anak-anak atas gizi tidak tergadai oleh kelalaian manajemen ataupun kepentingan segelintir pihak," lanjut dia.
Nurhadi turut meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit kinerja dan keuangan, tidak sekadar menilai laporan administratif. Apabila terbukti ada penyimpangan, pemerintah wajib menindak tegas baik mitra maupun oknum internal yang terlibat.
"Program MBG adalah investasi jangka panjang untuk masa depan bangsa, bukan proyek yang boleh dijadikan ajang bisnis. Setiap keterlambatan pembangunan dapur berarti keterlambatan pemenuhan gizi anak-anak Indonesia," kata Nurhadi.
"Keberhasilan program tidak boleh hanya diukur dari jumlah dapur terbangun, melainkan dari kualitas makanan yang benar-benar sampai ke meja anak-anak sekolah," sambungnya.