PM Prancis Terancam Lengser, Presiden Macron Hadapi Dilema Politik Baru

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 9 Sep 2025, 09:00
thumbnail-author
Deddy Setiawan
Penulis
thumbnail-author
Beno Junianto
Editor
Bagikan
Presiden Emmanuel Macron mengumumkan bahwa Prancis dan Arab Saudi akan bersama-sama memimpin sebuah konferensi untuk membahas pembentukan negara Palestina. Presiden Emmanuel Macron mengumumkan bahwa Prancis dan Arab Saudi akan bersama-sama memimpin sebuah konferensi untuk membahas pembentukan negara Palestina. (Antara)

Ntvnews.id, Paris - Parlemen Prancis diperkirakan akan menyingkirkan Perdana Menteri François Bayrou pada Senin, 8 September 2025, meski baru sembilan bulan menjabat. Situasi ini menyeret salah satu negara utama Uni Eropa ke pusaran ketidakpastian politik sekaligus menambah dilema besar bagi Presiden Emmanuel Macron.

Dilansir dari Reuters, Selasa, 9 September 2025, Bayrou secara mengejutkan mengajukan mosi percaya guna mengakhiri kebuntuan panjang terkait rancangan anggaran penghematan yang memangkas hampir 44 miliar euro atau sekitar Rp848 triliun untuk menekan utang nasional.

Namun, hampir seluruh partai oposisi telah menegaskan penolakan terhadap pemerintah minoritas Bayrou, sehingga peluang mendapatkan dukungan mayoritas dari 577 anggota Majelis Nasional sangat tipis.

Jika benar jatuh, Bayrou akan menjadi perdana menteri kedua berturut-turut yang gagal bertahan, setelah Michel Barnier dilengserkan Desember lalu usai tiga bulan menjabat. Bayrou, perdana menteri keenam di era Macron sejak 2017, bahkan sudah menunjukkan nada pesimis.

Baca Juga: Prancis Kecam AS Gegara Cabut Visa Pejabat AS untuk Hadiri Sidang PBB

“Apakah negara kita memahami keseriusan situasi yang dihadapinya?” ujar Bayrou dalam wawancara televisi yang dikutip Hurriyet Daily News, Senin, 8 September 2025.

Apabila Bayrou kehilangan posisinya, Macron harus memilih antara menunjuk perdana menteri ketujuh selama masa kepemimpinannya atau menggelar pemilu cepat untuk memperoleh parlemen yang lebih mendukung.

Di panggung internasional, Macron tengah berupaya meningkatkan pengaruhnya melalui peran aktif menghentikan perang Rusia–Ukraina. Namun di dalam negeri, popularitasnya justru merosot tajam.

Survei Odoxa-Backbone untuk Le Figaro menunjukkan 64 persen warga ingin Macron mengundurkan diri ketimbang menunjuk perdana menteri baru. Sementara itu, jajak pendapat Ifop untuk Ouest-France mencatat 77 persen masyarakat tidak puas dengan kinerjanya—angka terburuk sepanjang pemerintahannya.

Menanggapi krisis ini, Macron menyerukan pentingnya tanggung jawab dan stabilitas.

“Dunia yang tengah berubah memengaruhi banyak hal bagi Eropa. Dalam konteks ini, Prancis harus tetap maju,” ujar Bayrou usai menghadiri konferensi internasional tentang Ukraina.

Baca Juga: Turis Prancis Ditemukan Tewas di Kamboja

Di luar isu politik, Prancis juga diguncang tekanan sosial. Kelompok kiri radikal “Block Everything” menyerukan aksi massa pada 10 September, sementara serikat pekerja merencanakan pemogokan nasional pada 18 September.

Secara politik, belum ada kepastian bahwa pemilu akan memperbaiki posisi blok tengah-kanan Macron di parlemen. Meski demikian, muncul sinyal Macron mempertimbangkan kerja sama dengan Partai Sosialis (PS), partai yang dulunya dominan namun kini meredup.

Dalam pertemuan Selasa lalu, Macron disebut mendorong sekutunya agar “bekerja dengan Partai Sosialis.” Pemimpin PS, Olivier Faure, bahkan secara terbuka menyatakan kesediaannya menjadi perdana menteri dan sudah menyiapkan rancangan anggaran sendiri. Kendati begitu, dukungan PS belum tentu mampu menarik simpati dari faksi kiri lainnya.

x|close