Ntvnews.id, Tel Aviv - Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengecam aksi protes besar-besaran di negaranya yang mendesak dihentikannya perang di Gaza. Ia menilai tuntutan tersebut justru memberi keuntungan bagi Hamas dalam proses negosiasi.
“Mereka yang menuntut perang dihentikan tanpa memastikan kekalahan Hamas, pada dasarnya memperkuat posisi Hamas, menunda pembebasan para sandera, dan membuka jalan bagi terulangnya tragedi 7 Oktober,” kata Netanyahu dalam rapat kabinet, merujuk pada serangan Hamas ke Israel pada 2023 yang menjadi pemicu perang. Pernyataan ini dikeluarkan kantor perdana menteri, dikutip dari AFP, Senin, 18 Agustus 2025.
Komentar itu muncul setelah puluhan ribu warga Israel memenuhi jalanan Tel Aviv, Minggu, 17 Agustus 2025, menyerukan diakhirinya perang Gaza. Massa aksi membawa foto-foto para sandera, mengibarkan bendera kuning, menabuh genderang, hingga meneriakkan slogan agar pemerintah segera membawa pulang warga Israel yang masih ditahan di Gaza.
Baca Juga: Kondisi Warga Gaza Memburuk: 251 Orang Meninggal karena Kelaparan, Termasuk 110 Anak
“Kami datang untuk mengingatkan pemerintah bahwa mungkin ini adalah kesempatan terakhir menyelamatkan para sandera yang sudah hampir 700 hari ditahan di terowongan Hamas,” ungkap Ofir Penso, guru bahasa Arab berusia 50 tahun.
Aksi demonstrasi sendiri sudah berlangsung hampir dua tahun sejak perang pecah pada 2023, namun unjuk rasa kali ini disebut-sebut sebagai salah satu yang terbesar. Massa berkumpul di “Lapangan Sandera” Tel Aviv, yang kini menjadi pusat simbolis aksi protes.
“Pemerintah belum pernah sungguh-sungguh menawarkan jalan keluar yang nyata untuk kesepakatan menyeluruh sekaligus penghentian perang,” kata Einav Tzangauker, seorang ibu dari sandera bernama Matan, di hadapan ribuan peserta aksi.
“Kami menuntut adanya kesepakatan yang komprehensif dan realistis, serta diakhirinya perang. Kami hanya menuntut apa yang menjadi hak kami, anak-anak kami,” tegasnya.