Ntvnews.id, Jakarta - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menegaskan bahwa negara berhak mengambil kembali lahan yang tidak dimanfaatkan, termasuk tanah yang diklaim sebagai warisan keluarga.
Pernyataan ini disampaikan Nusron untuk menanggapi masyarakat yang masih menganggap tanah milik leluhur sebagai hak mutlak yang tak bisa diganggu gugat.
“Tanah itu tidak ada yang memiliki, tanah itu milik negara. Orang itu hanya menguasai karena negara memberikan hak kepemilikan,” ujar Nusron.
Menurutnya, anggapan bahwa tanah merupakan peninggalan turun-temurun tidak serta merta membuat hak atas tanah menjadi mutlak. Ia menekankan bahwa kepemilikan atas tanah bersifat sementara dan bergantung pada pemanfaatan.
“Tapi ini tanah mbah saya, leluhur saya. Saya mau tanya, emang mbah atau leluhur bisa membuat tanah?” lanjutnya retoris.
Pernyataan tersebut menyoroti realitas hukum pertanahan di Indonesia, bahwa hak atas tanah bukanlah hak absolut, melainkan hak yang diberikan negara selama tanah tersebut digunakan secara produktif. Bila dibiarkan terlantar tanpa aktivitas selama dua tahun, negara berhak mencabut hak tersebut dan mengambil alih lahan.
“Kalau sudah semua itu dijalankan dan tetap tidak dimanfaatkan, ya kita ambil. Negara berhak. Tidak bisa seenaknya klaim ini warisan mbah,” pungkas Nusron.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa saat ini pemerintah tengah memantau sekitar 100 ribu hektare tanah yang terindikasi terlantar. Namun, proses penetapan tanah terlantar tidak dilakukan secara sewenang-wenang.
Pemerintah membutuhkan waktu hampir dua tahun atau sekitar 587 hari sebelum lahan bisa dinyatakan sebagai tanah terlantar dan diambil alih. Prosesnya dimulai dari pemberian surat peringatan pertama selama 180 hari.
Jika tidak ada tanggapan, pemerintah akan mengirimkan peringatan kedua yang berlaku selama 90 hari, lalu dilakukan evaluasi selama dua minggu. Bila masih tidak ada perubahan, peringatan ketiga dikirim selama 45 hari dan kembali dievaluasi dalam dua minggu.
Tahapan terakhir adalah surat peringatan ketiga selama 30 hari, sebelum akhirnya dilakukan rapat penetapan tanah terlantar. Dengan langkah ini, pemerintah ingin memastikan bahwa setiap jengkal tanah di Indonesia digunakan secara optimal dan tidak sekadar menjadi simbol kepemilikan tanpa pemanfaatan.