Ntvnews.id, Taheran - Pemerintah Iran membela "haknya" untuk memperkaya uranium, meskipun ada kekhawatiran dari negara-negara Barat yang menduga Teheran tengah berusaha mengembangkan senjata nuklir.
Dalam sebuah unggahan di media sosial X, Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, menyatakan bahwa "Iran berhak penuh untuk memiliki siklus bahan bakar nuklir secara penuh," merujuk pada keanggotaan Iran dalam Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) yang sudah lama ada.
"Beberapa negara anggota NPT juga memperkaya uranium tanpa bermaksud mengembangkan senjata nuklir." tambahnya, dikutip dari AFP, Senin, 5 Mei 2025.
Menurut ketentuan NPT, negara-negara yang menandatangani perjanjian ini diwajibkan untuk mengungkapkan persediaan nuklir mereka dan menempatkannya di bawah pengawasan Badan Energi Atom Internasional (IAEA), yang bertanggung jawab memantau kegiatan nuklir.
Baca Juga: Iran Tuding Israel Usik Perundingan Nuklir dengan AS
Amerika Serikat dan negara-negara Barat telah lama menuduh Iran tengah berusaha mengembangkan senjata nuklir, meskipun Teheran membantahnya, dengan menyatakan bahwa program nuklir mereka semata-mata untuk tujuan sipil.
Perundingan antara Iran dan Amerika Serikat terkait isu nuklir dimulai sejak 12 April lalu, yang menandai kontak tingkat tinggi pertama antara kedua negara sejak AS menarik diri dari kesepakatan nuklir dengan Iran pada 2018 di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump.
Putaran keempat perundingan yang dijadwalkan pada hari Sabtu terpaksa ditunda, seperti yang disampaikan mediator Oman pada awal pekan ini, dengan alasan logistik.
Baca Juga: Pakistan Ancam Bakal Tembakan Nuklir ke India
Dalam wawancara dengan Fox News pada hari Kamis, Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, menyerukan agar Iran menghentikan pengayaan uranium dan mengatakan, "Negara-negara yang memperkaya uranium adalah negara yang sudah memiliki senjata nuklir."
Saat ini, Iran memperkaya uranium hingga kemurnian 60 persen, jauh lebih tinggi dari batas 3,67 persen yang disepakati dalam perjanjian tahun 2015 dengan AS dan negara-negara besar lainnya, namun masih jauh dari 90 persen yang diperlukan untuk membuat senjata nuklir.