Ntvnews.id, Jakarta - Di tengah upaya mewujudkan pemerataan pembangunan nasional, akses terhadap energi listrik menjadi salah satu tolok ukur utama keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Terlebih di wilayah 3T, yaitu terdepan, terluar, dan tertinggal, listrik bukan sekadar sumber daya, melainkan simbol hadirnya negara.
Dari penerangan rumah dan sekolah hingga penggerak ekonomi desa, listrik berperan penting dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat di kawasan yang selama ini tertinggal.
Listrik Menembus Keterisolasian
Pemerintah bersama PT PLN (Persero) terus memperluas jaringan listrik hingga pelosok negeri. Berdasarkan data Kementerian ESDM, rasio elektrifikasi nasional pada tahun 2024 telah mencapai 99,83 persen, meningkat dari 84,35 persen pada 2014. Namun, tantangan terbesar masih berada di wilayah timur Indonesia, seperti Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua, di mana topografi dan jarak antarpulau menjadi kendala utama pembangunan infrastruktur kelistrikan.
PLN mencatat, hingga akhir 2024 terdapat lebih dari 2.000 desa di wilayah 3T yang telah menikmati listrik untuk pertama kalinya dalam sejarah. Program Listrik Desa dan Listrik Nusantara menjadi ujung tombak, menggunakan berbagai pendekatan teknologi, mulai dari jaringan tegangan menengah, off-grid berbasis energi baru terbarukan (EBT), hingga sistem microgrid yang memanfaatkan tenaga surya dan biomassa lokal.
“Listrik bukan hanya soal kabel dan tiang. Ini tentang membuka akses terhadap kehidupan yang lebih baik,” ujar Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, dalam sebuah pernyataan resmi. Ia menegaskan bahwa misi elektrifikasi di wilayah 3T adalah bagian dari visi “energi berkeadilan” yang diamanatkan oleh konstitusi dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045.
Pendorong Ekonomi Lokal
PLN Resmikan Pengembangan Ekosistem Biomassa di Tasikmalaya (Istimewa)
Keberadaan listrik di desa-desa terpencil telah terbukti menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi lokal. Di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, misalnya, para pengrajin tenun ikat kini dapat menggunakan mesin jahit dan alat pencelup elektrik untuk meningkatkan produktivitas.
“Sebelumnya kami hanya menenun siang hari karena mengandalkan cahaya matahari. Sekarang kami bisa bekerja malam hari tanpa takut gelap,” tutur Maria, salah satu pengrajin dari Desa Kolana.
Hal serupa terjadi di Pulau Kei, Maluku Tenggara, di mana listrik membuka peluang usaha rumahan seperti pengolahan ikan asap, es balok, dan toko kelontong. Data PLN Unit Induk Wilayah Maluku dan Papua menunjukkan, setelah listrik masuk ke 187 desa pada 2024, tingkat pendapatan masyarakat meningkat rata-rata 18 persen dalam setahun.
Menurut Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, efek ekonomi dari elektrifikasi desa bahkan lebih luas. Akses energi membuat rantai pasok lebih efisien, mengurangi biaya produksi, dan memicu tumbuhnya wirausaha baru di sektor pertanian, perikanan, dan industri kecil. Energi yang terjangkau menjadi modal dasar untuk membangun ekonomi rakyat yang tangguh dan inklusif.
Cahaya untuk Dunia Pendidikan
Selain mendorong ekonomi, listrik juga menjadi penopang penting bagi kemajuan pendidikan. Di banyak wilayah 3T, keterbatasan listrik selama ini membuat kegiatan belajar mengajar hanya bisa dilakukan pada siang hari. Kini, dengan adanya penerangan malam dan akses internet melalui modem listrik, anak-anak dapat belajar dengan lebih fleksibel.
Di Kabupaten Paniai, Papua Tengah, sekolah dasar negeri di Desa Uwibutu kini memanfaatkan panel surya untuk menyalakan komputer dan proyektor pembelajaran. Guru-guru bisa menayangkan video edukasi dan mengakses bahan ajar digital, sesuatu yang sebelumnya dianggap mustahil.
“Dulu kami hanya pakai papan tulis dan kapur. Sekarang anak-anak bisa belajar lewat layar,” kata Kepala Sekolah SDN Uwibutu, Elisabet Wanimbo.
Program Listrik Masuk Sekolah yang dijalankan PLN dan Kementerian Pendidikan juga memberikan dampak nyata. Hingga 2024, sebanyak 1.240 sekolah di kawasan 3T telah teraliri listrik. Dampaknya signifikan: angka kehadiran siswa meningkat, kegiatan belajar malam menjadi mungkin, dan guru dapat menggunakan perangkat teknologi pembelajaran.
Penelitian dari LIPI (kini BRIN) menunjukkan bahwa ketersediaan listrik di sekolah-sekolah terpencil meningkatkan rata-rata hasil belajar hingga 12 persen dalam dua tahun pertama. Dengan akses listrik, pendidikan digital tak lagi menjadi hak eksklusif kota besar, tetapi menjangkau anak-anak di pegunungan, pulau kecil, hingga pesisir terpencil.
Menyala untuk Kesehatan
PLN terbuka menjadi rumah besar bagi talenta-talenta yang ingin tumbuh bersama menyongsong transisi energi di Indonesia. (Foto: Istimewa)
Sektor kesehatan turut menikmati manfaat langsung dari masuknya listrik ke wilayah 3T. Di Puskesmas Wamena Barat, Papua Pegunungan, generator diesel yang dulu menjadi sumber energi utama kini digantikan oleh sistem hybrid tenaga surya. Listrik stabil memungkinkan fasilitas kesehatan menyimpan vaksin di lemari pendingin tanpa risiko rusak, menyalakan inkubator bayi, hingga mendukung pelayanan rawat inap 24 jam.
“Ketika listrik stabil, layanan medis menjadi lebih cepat dan aman,” kata dr. Oktovianus Mabel, Kepala Puskesmas Wamena Barat. Ia menambahkan, sebelum ada listrik permanen, pasien sering dirujuk ke rumah sakit kabupaten hanya karena alat medis tidak berfungsi akibat mati lampu. Kini, puskesmas mampu melayani operasi ringan dan persalinan darurat secara mandiri.
Data Kementerian Kesehatan mengonfirmasi, sejak program elektrifikasi kesehatan diperluas pada 2020, jumlah puskesmas yang memiliki pasokan listrik andal di wilayah 3T meningkat dari 58 persen menjadi 92 persen pada 2024. Artinya, jutaan warga kini memiliki akses terhadap layanan medis yang lebih layak dan modern.
Energi untuk Masa Depan Berkelanjutan
Menyadari tantangan geografis dan biaya tinggi pembangunan jaringan di wilayah 3T, pemerintah terus mendorong inovasi energi baru terbarukan. Melalui program Bright Indonesia, PLN menargetkan 100 persen elektrifikasi pada 2026 dengan porsi 30 persen energi hijau di wilayah terpencil. Panel surya, mikrohidro, dan biomassa menjadi solusi efisien untuk daerah yang sulit dijangkau jaringan utama.
Direktur Jenderal Energi Baru dan Terbarukan (EBTKE), Eniya Listiani Dewi, menegaskan bahwa pembangunan energi di wilayah 3T bukan hanya tentang mengejar angka elektrifikasi, tetapi juga memastikan keberlanjutan lingkungan. “Keadilan energi berarti setiap warga punya hak yang sama untuk menikmati listrik, tanpa mengorbankan alam di sekitarnya,” ujarnya.
Menyala Bersama Negeri
Keberhasilan elektrifikasi wilayah 3T adalah cermin nyata dari semangat gotong royong bangsa. Pemerintah pusat, daerah, PLN, dan masyarakat bekerja bersama untuk menyalakan harapan di pelosok negeri. Dengan setiap lampu yang menyala, terbuka pula kesempatan baru bagi ekonomi lokal, pendidikan anak-anak, dan pelayanan kesehatan yang lebih baik.
Energi berkeadilan bukan sekadar slogan, melainkan tanggung jawab kolektif agar tak satu pun rakyat Indonesia tertinggal dalam kegelapan. Sebab di balik setiap kilowatt listrik yang mengalir ke desa terpencil, ada masa depan yang lebih terang bagi bangsa ini.