OJK: Aduan Penipuan Finansial ke IASC Tembus 800 Kasus Per Hari

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 19 Agu 2025, 17:15
thumbnail-author
Satria Angkasa
Penulis
thumbnail-author
Beno Junianto
Editor
Bagikan
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Pelindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi dalam acara Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Pelindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi dalam acara (Antara)

Ntvnews.id, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan rata-rata 700–800 aduan penipuan (scam) masuk setiap hari ke Indonesia Anti Scam Centre (IASC). Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura, Hong Kong, dan Malaysia.

“Di Singapura jumlah aduan hanya sekitar 140–150 per hari. Di Indonesia bisa mencapai 700–800 laporan, itu pun belum semua masyarakat tahu cara melapor,” ungkap Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, di Jakarta, Selasa.

Sejak November 2024 hingga 17 Agustus 2025, IASC telah menerima 225.281 laporan dengan total kerugian mencapai Rp4,6 triliun. Dari jumlah itu, dana sebesar Rp349,3 miliar berhasil diblokir. Laporan juga mencatat 359.733 rekening terlibat, dengan 72.145 rekening di antaranya sudah dibekukan.

Friderica menjelaskan, penipuan finansial merupakan fenomena global. Namun, tingginya populasi Indonesia dan tingkat literasi keuangan yang masih rendah memperbesar tantangan. Dana hasil kejahatan seringkali dialirkan melalui banyak jalur, tidak hanya rekening bank, tetapi juga platform e-commerce, dompet digital, hingga aset kripto.

Baca Juga: KKP Tangkap Kapal Filipina di Samudra Pasifik yang Mau Curi Ikan Tuna 400 Ton

Ia pun mengajak asosiasi pedagang kripto serta pelaku jasa keuangan untuk aktif berpartisipasi memberantas penipuan. “Selama ada kelengahan, siapa pun bisa menjadi korban, tanpa memandang pendidikan maupun jabatan,” tegasnya.

Berdasarkan survei OJK, indeks literasi keuangan berada di 66,46 persen, masih lebih rendah dibanding indeks inklusi keuangan yang mencapai 80,51 persen. Hal ini menunjukkan kesenjangan pemahaman masyarakat terhadap penggunaan layanan keuangan digital.

Friderica menyoroti pentingnya kecepatan pelaporan. Rata-rata masyarakat Indonesia baru melapor setelah 12 jam sejak kejadian, sementara di negara lain hanya butuh 15 menit. “Kecepatan laporan menentukan apakah dana korban masih bisa diselamatkan atau tidak,” jelasnya.

Ia menambahkan, kolaborasi dengan pelaku usaha jasa keuangan penting untuk memperkuat perlindungan konsumen dan meningkatkan kepercayaan publik. “Scammer terus berkembang dengan modus yang semakin canggih. Kita tidak boleh kalah,” tutupnya.

(Sumber : Antara)

x|close