Ntvnews.id, Jakarta - Kebijakan pembatasan konsumsi Gula, Garam, dan Lemak (GGL) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 mendapat sorotan dari kalangan legislatif dan dunia usaha. Regulasi tersebut dianggap berpotensi menekan sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang selama ini menjadi penopang utama ekonomi nasional.
UMKM diketahui memberikan kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yakni sekitar 60 persen. Di sisi lain, sektor makanan dan minuman (mamin), yang didominasi oleh pelaku UMKM, mencatatkan pertumbuhan 5,82 persen pada kuartal III 2024, melebihi pertumbuhan PDB nasional yang berada di angka 4,95 persen.
Menanggapi kebijakan tersebut, Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Bambang Haryo Soekartono, menyampaikan keprihatinannya. Ia menilai pembatasan GGL justru dapat memperparah daya beli masyarakat dan berdampak langsung terhadap kelangsungan usaha UMKM, khususnya di sektor mamin.
"Karena daya belinya masyarakat sudah menurun, dan ini sangat berdampak terhadap ekonomi kita," ujar Bambang dalam keterangannya, Senin, 4 Agustus 2025.
Tak hanya itu, Bambang juga mengingatkan potensi hilangnya pendapatan negara apabila sektor mamin terganggu. Ia pun mendorong pemerintah agar mengevaluasi ulang PP tersebut demi menjaga stabilitas ekonomi dan keberlanjutan UMKM. Sebagai alternatif, ia menyarankan pendekatan berbasis edukasi ketimbang pembatasan secara langsung.
"Bukan penjualannya yang harus dilarang. Biarkan masyarakat tetap bisa mengonsumsi, tapi atur jumlah konsumsinya sesuai anjuran dari Puskesmas. Jadi bukan industrinya atau UMKM yang dikorbankan, tapi masyarakat yang perlu disadarkan melalui edukasi dari Puskesmas," kata Bambang, yang juga menjabat sebagai Dewan Penasehat DPP Partai Gerindra.
Kritik serupa disampaikan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Shinta Kamdani. Ia menekankan bahwa kesiapan pelaku usaha dalam beradaptasi terhadap kebijakan semacam ini sangat bervariasi, sehingga penerapan aturan tidak bisa dilakukan secara seragam.
"Karena itu, kebijakan ini tidak bisa dipaksakan atau diterapkan secara seragam tanpa mempertimbangkan kesiapan masing-masing sektor," imbuhnya.
APINDO juga mendesak agar pelaku UMKM dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan, mengingat banyaknya tantangan yang mereka hadapi, mulai dari kesenjangan teknologi hingga keterbatasan sumber daya. Shinta menegaskan pentingnya penerapan aturan yang adil dan konsisten.
"Kami berharap pelaku usaha tetap diberikan ruang seluas-luasnya untuk terlibat dalam proses perumusan kebijakan," tutup Shinta.
Sebagai bentuk keberimbangan, APINDO juga menyarankan agar kebijakan ini disertai dengan kajian dampak regulasi (regulatory impact analysis) yang menyeluruh, serta penyediaan masa transisi dan tahapan implementasi yang terstruktur agar pelaku usaha, khususnya UMKM, memiliki waktu cukup untuk menyesuaikan diri.