Partai Pro-Militer Klaim Menang Mayoritas Suara dalam Putaran Awal Pemilu Myanmar

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 31 Des 2025, 06:55
thumbnail-author
Deddy Setiawan
Penulis
thumbnail-author
Beno Junianto
Editor
Bagikan
Arsip foto - Pemimpin junta Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing saat menghadiri parade militer memperingati 78 tahun angkatan bersenjata Myanmar di Naypyidaw, Myanmar, Senin (27/3/2023). Arsip foto - Pemimpin junta Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing saat menghadiri parade militer memperingati 78 tahun angkatan bersenjata Myanmar di Naypyidaw, Myanmar, Senin (27/3/2023). (Antara)

Ntvnews.id, Naypyidaw - Partai-partai yang mendukung militer di Myanmar dilaporkan telah memenangkan mayoritas suara dalam putaran pertama pemilu yang digelar oleh junta. Namun demikian, kelompok pemantau demokrasi memperingatkan bahwa pelaksanaan pemilu ini justru berpotensi memperkuat cengkeraman militer atas kekuasaan.

Dilansir dari AFP, Rabu, 31 Desember 2025, menyebutkan informasi terkait perolehan suara tersebut diperoleh pada Senin, 29 Desember 2025 dari seorang sumber.

Kendati junta menyebut pemilu ini sebagai tonggak kemajuan penting, laporan menyebutkan sekitar separuh wilayah Myanmar tidak ikut ambil bagian karena perang saudara yang terus berlangsung sejak kudeta militer.

Tempat Pemungutan Suara (TPS) di pusat-pusat kota utama Myanmar mulai dibuka pada Minggu, 28 Desember 2025, Meski demikian, tingkat partisipasi pemilih dilaporkan jauh lebih rendah dibandingkan pemilu besar pada 2015 dan 2020.

Baca Juga: Pemilu Perdana Myanmar, Partisipasi Didominasi Pemilih Lansia

Situasi pemilu 2025 ini dinilai berbeda dibandingkan pelaksanaan pemilu sebelumnya. Pada Minggu, 28 Desember 2025, jalanan terlihat relatif lengang karena sebagian besar warga memilih tetap beraktivitas daripada datang ke TPS. Kondisi ini berbanding terbalik dengan pemilu sebelumnya, ketika antrean pemilih mengular sejak pagi.

Seorang perempuan muda yang baru keluar dari bilik suara di Yangon menolak memberikan komentar kepada tim DW dengan mengatakan, "Maaf, saya tidak ingin berkomentar." Sikap waspada di kalangan generasi muda terasa kuat sepanjang hari pertama pemungutan suara.

Pemilu Bertahap di Tengah Konflik

Pemungutan suara dirancang berlangsung dalam tiga tahap. Tahap pertama digelar pada 28 Desember dan telah selesai, sementara tahap kedua dan ketiga dijadwalkan pada 11 Januari serta 25 Januari 2026.

Dalam beberapa pekan menjelang pemilu, tim DW berbincang dengan sejumlah anak muda yang mengaku khawatir akan konsekuensi jika tidak menggunakan hak pilih.

"Kami khawatir tentang dampak dari tidak memilih. Apakah ini akan mencegah kami meninggalkan negara atau apakah akan ada pemeriksaan bukti pemilihan di bandara?" ujar seorang pria berusia 30 tahun dari Yangon yang meminta identitasnya dirahasiakan.

TPS di kota-kota besar justru mencatat peningkatan jumlah pemilih lanjut usia. Hal ini dikaitkan dengan banyaknya anak muda yang meninggalkan Myanmar. Tren tersebut semakin kuat akibat represi pascakudeta dan penerapan wajib militer oleh junta sejak 2024.

Seorang perempuan berusia 37 tahun yang datang ke TPS bersama anaknya juga memilih tidak disebutkan namanya demi alasan keamanan. Ia mengaku kelelahan dengan situasi yang ada.
"Saya memilih, hanya untuk berharap ada perubahan setelah pemilu," katanya singkat.

Penolakan Internasional

Bendera Myanmar <b>(Pixabay)</b> Bendera Myanmar (Pixabay)

Amerika Serikat, Uni Eropa, dan sejumlah negara Barat lainnya menolak hasil pemilu tersebut dan menyebutnya sebagai pemilu "palsu". Mereka menilai pemilihan itu hanya menguntungkan para jenderal militer dan memperburuk kondisi Myanmar.

"Sangat jelas bahwa dalam keadaan konflik saat ini dan mengingat catatan hak asasi manusia junta militer… bahwa kondisi untuk pemilihan bebas dan adil tidak ada," kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dalam KTT ASEAN di Malaysia pada akhir Oktober 2025.

Pasca kudeta 2021, tokoh demokrasi Myanmar sekaligus pemimpin de facto pemerintahan sipil, Aung San Suu Kyi, ditahan dan dipenjara bersama para pemimpin terpilih lainnya. Partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi, juga telah dibubarkan.

Menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPB), sejak 2021 lebih dari 7.630 warga sipil tewas akibat tindakan aparat keamanan, sementara sekitar 30.000 orang saat ini ditahan dengan tuduhan politik.

"Agar pemilu dapat dipercaya, para pemimpin oposisi dan anggota parlemen harus dibebaskan dan diizinkan untuk berpartisipasi," ujar Ejaz Min Khant dari Fortify Rights kepada DW.

"Sebuah pemilu yang dijalankan secara eksklusif oleh militer tanpa pihak oposisi utama adalah pemilu palsu," tambahnya.

Selain absennya oposisi utama, pemungutan suara juga tidak digelar di wilayah yang berada di luar kendali militer. Komisi Pemilihan Umum Myanmar yang ditunjuk junta menambah daftar wilayah yang dikecualikan, sehingga total mencapai 65 daerah tanpa hak pilih.

Klaim dan Ambisi Junta

Usai mencoblos di Naypyitaw, pemimpin junta Min Aung Hlaing menyatakan kepada wartawan bahwa pemilu akan berlangsung bebas dan adil. Namun, seorang pengacara di Yangon menilai persoalan utama bukan hanya soal penyelenggaraan pemilu.

"Yang terpenting adalah orang-orang ingin melihat perubahan sekarang, bukan hanya membiarkan keadaan ini terus berlarut-larut dalam keadaan kolaps," katanya.

Baca Juga: Susunan Pemain Timnas Indonesia U-22 vs Myanmar, Struick dan Mauro Starter Lagi

Meski sebagian pengamat berharap adanya pelonggaran kebijakan, banyak yang menilai langkah tersebut hanya bersifat minimal demi kepentingan legitimasi internasional.

Min Aung Hlaing sendiri tampak meredam spekulasi terkait ambisi kepresidenannya.

"Saya adalah Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata dan seorang pegawai negeri. Saya tidak bisa begitu saja mengatakan bahwa saya ingin melakukan hal ini atau itu. Saya bukan pemimpin partai politik," ujarnya, seraya menyebut pembahasan soal presiden baru hanya bisa dilakukan setelah parlemen dibentuk.

Sementara itu, media pro-junta menggambarkan pemilu sebagai kemajuan demokrasi, meski media independen melaporkan adanya tekanan terhadap pegawai negeri, personel militer, dan keluarga mereka untuk ikut memilih dan membuktikan partisipasi. Di sisi lain, konflik bersenjata di berbagai wilayah Myanmar terus memburuk seiring upaya militer merebut kembali daerah yang dikuasai kelompok oposisi.

x|close