Siksorogo Lawu Ultra dan Lahirnya Ziarah Baru Generasi Modern

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 17 Des 2025, 12:34
thumbnail-author
Ikhsan Ababil
Penulis
thumbnail-author
Tim Redaksi
Editor
Bagikan
2 Pelari Asal Karanganyar Meninggal Dunia Saat Ikuti Siksorogo Lawu Ultra 2025 2 Pelari Asal Karanganyar Meninggal Dunia Saat Ikuti Siksorogo Lawu Ultra 2025 (IG: Siksorogo)

Ntvnews.id, Jakarta - Di kaki Gunung Lawu, udara dingin bercampur hiruk-pikuk ratusan pelari yang bersiap menempuh malam panjang, jalur terjal, dan suhu yang menembus tulang. Sekilas, Siksorogo Lawu Ultra tampak seperti ajang olahraga ekstrem biasa. Namun jika dicermati lebih dalam, ia membuka ruang untuk melihat bagaimana manusia modern membangun makna baru tentang tubuh, alam, dan dirinya sendiri. Jalur gunung yang dulunya identik dengan ritual spiritual kini menjadi panggung bagi bentuk ziarah yang berbeda, namun sejatinya masih bergerak dalam pencarian yang sama: memahami diri.

Siksorogo Lawu Ultra adalah ajang lari ultra-trail tahunan yang digelar di kawasan Gunung Lawu, dengan rute menembus jalur hutan, punggungan gunung, dan tanjakan panjang. Kegiatan ini menarik ratusan pelari dari berbagai daerah, bukan hanya karena tantangan fisiknya, tetapi karena pengalaman intens melihat Lawu dari jarak dekat. Fenomena ini menunjukkan bahwa Lawu kini berfungsi ganda: ruang wisata, ruang olahraga, dan ruang pencarian makna.

Gunung Lawu sendiri memiliki sejarah panjang sebagai tempat kontemplasi. Banyak peziarah datang bukan untuk merayakan kekuatan fisik, tetapi mengejar ketenangan batin, memaknai ulang hidup, atau sekadar menepi dari hiruk pikuk dunia. Kini, ketika ratusan pelari memasuki jalur yang sama, kita menyaksikan pertemuan unik antara ritus tradisional dan pencarian makna ala manusia modern. Perbedaannya terletak pada medium, namun arah pencariannya sama-sama mengarah ke dalam.

Sebagian orang mungkin melihat ultra trail hanya sebagai olahraga yang menuntut daya tahan. Namun bagi banyak pelari, pengalaman berjam-jam melintasi hutan gelap, kabut tebal, dan jalur teknis justru berubah menjadi perjumpaan dengan pikiran terdalam. Dan di titik ini, pengalaman peserta dapat dibaca melalui teori interaksionisme simbolik. Teori ini menekankan bahwa makna tidak melekat begitu saja pada sebuah tindakan atau tempat, tetapi dibangun melalui proses interpretasi dan interaksi sosial.

Dalam konteks Siksorogo Lawu Ultra, simbol-simbol seperti dinginnya malam, derap langkah di tanah basah, lampu headlamp yang berpendar di antara pepohonan, hingga gestur saling menyemangati di pos menjadi faktor pembentuk makna yang terus dinegosiasi. Para pelari, relawan, panitia, hingga warganet yang mengikuti perkembangan lomba memberikan interpretasi masing-masing: ada yang menyebutnya perjalanan spiritual, ada yang menyebutnya ujian mental, ada pula yang melihatnya sebagai cara melarikan diri sejenak dari tekanan kota.

Siksorogo Lawu Ultra dan Lahirnya Ziarah Baru Generasi Modern <b>(IG: siksorogo)</b> Siksorogo Lawu Ultra dan Lahirnya Ziarah Baru Generasi Modern (IG: siksorogo)

Melalui interaksi langsung di jalur dan interaksi simbolik di media sosial setelahnya, makna tentang Siksorogo Lawu Ultra menjadi cair, hidup, dan terus bergerak. Jalur trail itu tidak lagi netral ia menjadi ruang tempat manusia kota menegosiasi identitas dirinya: mencari jeda dari rutinitas, menguji ulang ketangguhan, dan menunjukkan kepada publik versi siapa yang ingin ia tampilkan.

Fenomena ini juga menjelaskan mengapa olahraga trail running berkembang pesat di kalangan generasi urban. Mereka hidup dalam ritme cepat, layar yang tak pernah padam, dan tekanan produktivitas yang menumpuk. Rutinitas harian yang serba mekanis sering membuat manusia terputus dari ritme alam. Ultra trail menawarkan sesuatu yang tidak bisa diberikan ruang kantor: keheningan, kesunyian, dan kesempatan untuk merasa kecil di hadapan gunung sekaligus merasa utuh kembali.

Dalam konteks itu, Siksorogo Lawu Ultra bukan sekadar event olahraga, tetapi ruang pelarian yang sah sekaligus ruang pemulihan. Ketika tubuh dipaksa bergerak lebih lambat dan lebih sadar, pikiran justru mendapat ruang untuk menenangkan diri. Banyak pelari menceritakan bahwa perjalanan panjang di gunung membuat mereka menemukan perspektif baru tentang hidup persis seperti yang dicari para peziarah tradisional dalam ritual-ritualnya.

Warga Berbaju Putih di Puncak Gunung Lawu <b>(Instagram)</b> Warga Berbaju Putih di Puncak Gunung Lawu (Instagram)

Meski demikian, euforia ini tetap membutuhkan kehati-hatian. Lawu bukan hanya panggung pencarian makna, tetapi ekosistem yang rapuh dan harus dijaga. Pertumbuhan event besar di kawasan gunung meningkatkan risiko kerusakan lingkungan jika tidak dikelola dengan bijak.

Ziarah, apa pun bentuknya, seharusnya diiringi penghormatan kepada ruang yang dikunjungi.
Karena itu, Siksorogo Lawu Ultra dapat menjadi momentum penting: bagaimana olahraga ekstrem dipadukan dengan prinsip konservasi dan kearifan lokal. Banyak komunitas pelari telah menerapkan prinsip leave no trace, tetapi semangat ini perlu menjadi budaya bersama, bukan sekadar kewajiban teknis.

Pada akhirnya, pertanyaan yang layak kita renungkan adalah ini: mengapa manusia modern membutuhkan ziarah dalam bentuk baru? Mungkin jawabannya sederhana tubuh adalah pintu masuk paling jujur menuju pemahaman diri. Dan ketika tubuh dipertemukan dengan alam, manusia kembali pada kesadaran purba: bahwa hidup selalu lebih besar dari rutinitas harian.

Ikhsan Ababil, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Korporat Universitas Paramadina

x|close