Ntvnews.id, Kupang - Mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharmana Lukman Sumatmadja, dituntut hukuman 20 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang lanjutan dengan agenda pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Kupang, Senin 22 September 2025.
“Tim jaksa penuntut umum (JPU) menyebutkan bahwa yang bersangkutan terbukti melakukan persetubuhan terhadap anak dan menyebarkan konten bermuatan asusila,” ujar Kepala Seksi Penerangan dan Hukum Kejaksaan Tinggi NTT, A. A. Raka Putra Dharmana, di Kupang, Senin, 22 September 2025.
Tim JPU yang terdiri dari Arwin Adinata, Kadek Widiantari, Samsu Jusnan Efendi Banu, dan Sunoto mendakwa Fajar dengan dakwaan kombinasi (alternatif kumulatif).
Kapolres Ngada AKBP Fajar (Dok. NTVNews.id: Rizky)
Selain pidana penjara, jaksa juga menuntut agar terdakwa dikenakan denda sebesar Rp5 miliar dengan ketentuan subsider 1 tahun 4 bulan kurungan. Terdakwa juga diminta membayar restitusi senilai Rp359,16 juta kepada tiga anak korban, sesuai rekomendasi dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Barang bukti berupa pakaian, telepon genggam, laptop, dan rekaman video diminta untuk disita dan dimusnahkan, sementara barang-barang milik korban dikembalikan.
Jaksa menegaskan tidak ada faktor yang meringankan bagi terdakwa. Sebaliknya, perbuatannya dianggap memperberat hukuman karena menyebabkan trauma mendalam, mencoreng nama baik institusi kepolisian, menimbulkan keresahan masyarakat, serta bertentangan dengan upaya pemerintah dalam melindungi anak.
Baca Juga: Mantan Kapolres Ngada yang Lakukan Pelecehan Seks Terancam Dijerat Pasal Berlapis
“Negara tidak boleh kalah melawan kejahatan seksual terhadap anak. Tuntutan ini bukti komitmen kejaksaan melindungi masa depan generasi bangsa,” tegas Samsu Jusnan Efendi Banu saat membacakan tuntutan.
Raka menambahkan, beberapa hal yang memberatkan tuntutan adalah karena terdakwa tidak mengakui perbuatannya, tidak menunjukkan penyesalan, dan tindakan tersebut telah menimbulkan trauma serius bagi para korban anak.
Ia juga menekankan bahwa kasus ini sempat viral di media sosial dan menimbulkan keresahan luas. “Sebagai aparat penegak hukum, terdakwa seharusnya menjadi teladan, namun justru mencoreng nama baik institusi,” katanya.
Lebih lanjut, perbuatan terdakwa dinilai merusak citra Polri serta bangsa Indonesia di mata internasional, sekaligus tidak mendukung program pemerintah dalam upaya perlindungan anak.
Sidang dijadwalkan berlanjut pada Senin 29 September 2025 mendatang dengan agenda pembacaan nota pembelaan (pledoi) dari penasihat hukum terdakwa. (Sumber : Antara)