Ntvnews.id, Jakarta - Trubus Rahardiansah, pakar kebijakan publik dari Universitas Trisakti, menekankan bahwa masyarakat harus mampu membedakan secara jelas antara demonstran dan perusuh agar tidak terjadi kesalahan persepsi dalam merespons aksi massa.
"Pernyataan ini penting dipahami publik karena sering kali terjadi pencampuradukan istilah antara demonstran dan perusuh. Padahal, keduanya memiliki karakteristik dan tujuan yang berbeda," ujar Trubus dalam keterangannya dari Jakarta, Senin, 1 September 2025.
Pernyataan tersebut disampaikan menanggapi hasil rapat kabinet yang berlangsung Minggu, 30 Agustus 2025, di mana Presiden Prabowo Subianto menegaskan dua prinsip mendasar dalam menyikapi gelombang aksi di berbagai daerah.
Presiden menyoroti pentingnya negara memberi ruang bagi aspirasi publik, namun juga tidak ragu bertindak tegas bila situasi bergeser dari unjuk rasa menjadi kekerasan.
"Pertama, negara mengapresiasi dan memfasilitasi mereka yang menyampaikan pendapat secara damai. Kedua, negara harus turun tangan ketika yang terjadi bukan lagi demonstrasi, melainkan tindakan anarkis yang mengganggu ketertiban umum," katanya.
Trubus menjelaskan bahwa demonstrasi merupakan elemen penting dalam demokrasi. Biasanya, mereka yang terlibat aksi demonstrasi hadir dengan tertib, membawa tuntutan yang jelas, memiliki pemimpin atau koordinator lapangan, serta identitas dan agenda yang terbuka untuk publik.
Aksi unjuk rasa umumnya dilakukan pada siang hingga sore hari dan memiliki batas waktu yang ditentukan, yakni hingga pukul 18.00. Setelah itu, sebagian besar massa akan membubarkan diri dengan tertib.
Dalam kondisi tersebut, lanjut Trubus, kehadiran aparat keamanan bukan untuk membungkam aspirasi, tetapi justru bertindak sebagai penjaga ketertiban agar penyampaian pendapat berjalan aman.
Namun demikian, Trubus menekankan bahwa hal berbeda terjadi saat massa sudah bubar dan kemudian muncul kelompok tak dikenal yang berniat membuat kekacauan.
"Ciri-cirinya biasanya berpakaian serba hitam, menggunakan helm dan masker, serta cenderung menutupi identitas. Mereka datang bukan untuk menyuarakan aspirasi, tetapi untuk menciptakan kekacauan," katanya.
Ia menambahkan bahwa kelompok semacam ini sering kali terlibat dalam pembakaran fasilitas umum, perusakan infrastruktur, hingga penjarahan pusat-pusat perbelanjaan. Bahkan, menurutnya, tak sedikit dari mereka yang berasal dari luar daerah.
Tujuan kelompok ini, kata Trubus, bukan lagi menyampaikan isu politik atau sosial, melainkan untuk menciptakan ketakutan serta gangguan terhadap stabilitas.
"Tidak heran jika kelompok perusuh cenderung memusuhi aparat. Polisi menjadi target karena bertugas menangkap, menindak, dan memproses hukum mereka. Dalam logika kriminal, keberadaan polisi adalah penghalang bagi kehidupan tanpa aturan. Maka, sentimen anti-aparat sering kali muncul dari kelompok perusuh, bukan dari demonstran damai," ujarnya.
Trubus juga menggarisbawahi peran aktif masyarakat dalam menghalau perusuh di beberapa wilayah, seperti yang terjadi di Summarecon Bekasi dan Blitar. Ia menyebut keterlibatan warga secara langsung mampu mencegah kerusuhan semakin meluas.
"Ketika ada indikasi perusuh masuk ke lingkungan mereka, warga bersama aparat langsung menghalau. Hasilnya, massa perusuh kabur."
Ia menilai aksi warga tersebut merupakan wujud nyata solidaritas sosial. Menurutnya, kelompok perusuh ingin menciptakan ketakutan, namun kekuatan warga yang bersatu dapat mematahkan logika teror tersebut.
"Kehadiran masyarakat di lapangan juga memberi sinyal kuat bahwa ruang publik bukan tempat bebas bagi kelompok anarkis."
Menurut Trubus, membedakan antara kelompok demonstran dan perusuh sangat penting untuk menjaga kesehatan demokrasi.
"Negara wajib melindungi hak demonstran untuk menyampaikan pendapat, namun pada saat yang sama tegas menindak perusuh yang berupaya menciptakan instabilitas," tuturnya.
Ia pun mengingatkan bahwa situasi yang dihadapi saat ini bukan lagi sekadar protes damai, melainkan telah berkembang menjadi aksi perusuh yang terorganisir.
"Seperti ditekankan Presiden Prabowo, yang dihadapi negara saat ini bukan lagi sekadar unjuk rasa dengan tuntutan jelas, melainkan perusuh terorganisir. Karena itu, publik perlu kritis membedakan: jangan sampai kebebasan demokrasi disalahgunakan sebagai tameng untuk aksi kriminal," tambahnya.
Lebih lanjut, Trubus menjelaskan bahwa demonstran sejati cenderung bersikap sopan, mengedepankan etika publik, serta mengusung isu-isu yang menyangkut kepentingan masyarakat luas.
"Demonstran biasanya santun dalam menyampaikan pendapat dan ajakan kepada masyarakat senantiasa mengedepankan public civility. Masyarakat bisa menangkap dari perilaku demonstran yang pastinya tuntutannya untuk kemaslahatan publik," jelasnya.
"Demonstran selalu menampilkan ide-ide yang cerdas, senantiasa mengajak berdialog kepada institusi atau pimpinan lembaga yang diprotes," tambahnya.
Sebagai penutup, Trubus mengimbau agar masyarakat tetap waspada dan cermat dalam menilai kerumunan di ruang publik.
"Oleh karena demonstran tidak sama dengan perusuh maka masyarakat ketika melihat kerumunan harus jeli dan berhati-hati," kata Trubus.
(Sumber: Antara)