UNICEF: Kelaparan di Gaza Disebabkan Blokade, Bukan Kekurangan Pangan

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 25 Agu 2025, 12:12
thumbnail-author
Irene Anggita
Penulis
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Editor
Bagikan
Sejumlah warga Palestina berebut makanan yang dibagikan di tempat pengungsian di Kota Gaza, Palestina, Minggu (24/8/2025). Krisis pangan yang terus melanda Gaza membuat anak-anak Palestina harus ikut berebut makanan untuk bertahan hidup. Sejumlah warga Palestina berebut makanan yang dibagikan di tempat pengungsian di Kota Gaza, Palestina, Minggu (24/8/2025). Krisis pangan yang terus melanda Gaza membuat anak-anak Palestina harus ikut berebut makanan untuk bertahan hidup. (ANTARA)

Ntvnews.id, Jakarta - Direktur Eksekutif UNICEF, Catherine Russell, menyatakan bahwa kelaparan yang saat ini terjadi di Gaza bukan disebabkan oleh kelangkaan bahan pangan, melainkan karena terhambatnya distribusi bantuan kemanusiaan, terutama akibat blokade yang diberlakukan oleh Israel. Pernyataan ini disampaikannya pada Minggu, 24 Agustus 2025, di tengah meningkatnya laporan mengenai kematian anak-anak akibat kelaparan.

“Anak-anak telah berbulan-bulan hidup tanpa makanan yang cukup,” ujar Russell dalam wawancaranya dengan CBS.

“Kita menyaksikan situasi mengerikan di mana anak-anak berada di ambang kelaparan dan akhirnya meninggal karena kelaparan," tambahnya.

Russell menyoroti bahwa tragedi ini seharusnya dapat dicegah. Ia menjelaskan bahwa stok makanan sebenarnya tersedia di dekat Gaza, namun akses terhadap bantuan tersebut sangat terbatas bagi warga sipil.

“Ini bukan karena badai atau kekeringan. Ini terjadi karena kami tidak bisa menyalurkan cukup bantuan kepada anak-anak itu,” katanya.

Saat merespons klaim pemerintah Israel yang menolak adanya kondisi kelaparan, Russell membela temuan dan penilaian PBB yang menunjukkan sebaliknya. Ia menjelaskan bahwa status kelaparan yang diumumkan untuk Gaza utara berdasarkan metodologi ilmiah dari Klasifikasi Tahap Kerawanan Pangan Terpadu (IPC), yang dilakukan oleh para ahli independen.

Penilaian tersebut mengacu pada sejumlah indikator, termasuk kelangkaan makanan, prevalensi gizi buruk, dan tingkat kematian akibat kelaparan.

“Kita tahu anak-anak meninggal, bukan? Saya lelah dengan perdebatan apakah informasi yang kami sampaikan benar atau tidak,” ujar Russell.

Ia juga menekankan pentingnya membuka akses bagi media internasional agar dapat meliput langsung situasi di lapangan.

Selain itu, Russell turut menyampaikan kritik terhadap mekanisme distribusi bantuan yang saat ini dijalankan oleh Israel melalui Gaza Humanitarian Foundation (GHF). Menurutnya, pendekatan ini tidak sejalan dengan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan.

Ia mengungkapkan bahwa sebelumnya, PBB dapat menjalankan hingga 400 titik distribusi bantuan di Gaza. Namun, GHF hanya mengoperasikan empat lokasi.

“Izinkan kami bekerja. Biarkan kami masuk. Kami tahu bagaimana melakukan distribusi ini,” tegasnya.

Sejak Maret lalu, Israel menutup seluruh jalur masuk ke Gaza, yang menyebabkan terhentinya pengiriman bantuan secara total. Kemudian, pada akhir Mei, Israel mulai menerapkan skema distribusi bantuan secara sepihak melalui GHF, dengan mengecualikan peran PBB serta organisasi bantuan besar lainnya.

Menurut laporan dari Kementerian Kesehatan Gaza, sistem baru ini telah mengakibatkan lebih dari 2.000 warga Palestina meninggal dunia dan lebih dari 15.000 lainnya luka-luka saat berusaha mengakses bantuan yang sangat mereka butuhkan.

Pada hari Jumat, IPC mengumumkan bahwa kelaparan sudah terjadi di wilayah utara Gaza dan memperkirakan bahwa krisis ini akan meluas ke selatan pada akhir September apabila situasi tidak segera membaik.

Sejak dimulainya operasi militer Israel pada Oktober 2023, lebih dari 62.600 warga Palestina dilaporkan telah tewas di Gaza. Serangan yang terus berlanjut ini telah menghancurkan infrastruktur dan membuat wilayah tersebut tidak lagi layak untuk dihuni.

(Sumber: Antara)

x|close