PHRI Minta Aturan Pembayaran Royalti Musik Diperjelas

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 14 Agu 2025, 14:35
thumbnail-author
Muhammad Fikri
Penulis
thumbnail-author
Beno Junianto
Editor
Bagikan
Arsip Foto - Ketua Umum Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Haryadi B. Sukamdani. Arsip Foto - Ketua Umum Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Haryadi B. Sukamdani. (ANTARA)

Ntvnews.id, Jakarta - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mendesak pemerintah memperjelas ketentuan pembayaran royalti dalam Undang-Undang Hak Cipta, khususnya terkait pemutaran lagu dan musik di hotel maupun restoran, yang dinilai masih membingungkan para pelaku usaha. 

Ketua Umum PHRI, Haryadi B. Sukamdani, mengatakan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta memiliki banyak kelemahan yang harus disempurnakan. Menurutnya, aturan pembayaran royalti, terutama untuk pemutaran lagu dan musik di hotel dan restoran, harus dijabarkan lebih rinci.

"Undang-undang ini memang mengandung banyak kelemahan yang harus disempurnakan," ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Kamis, 14 Agustus 2025.

Baca Juga: Pesan Dua Paskibraka Asal Papua untuk Prabowo: Kami Siap Membanggakan Negara!

Haryadi menyoroti perlunya kejelasan posisi hukum Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dalam menagih royalti kepada pihak yang memutar lagu atau musik.

"Jadi legal standing-nya itu bagaimana, itu yang jadi masalah. Anda (LMKN) menagih semua orang, ya tidak bisa seperti itu, karena banyak juga yang merasa tidak memiliki hubungan dengan LMKN," katanya.

Ia menambahkan, alur administrasi pembayaran, besaran royalti, pihak yang wajib membayar, serta penerima pembayaran harus dibuat transparan. Selain itu, perlu kejelasan terkait jenis lagu atau musik yang membutuhkan lisensi dan pembayaran royalti.

Menurut Haryadi, lagu kebangsaan Indonesia Raya dan lagu-lagu daerah yang sudah masuk domain publik seharusnya bebas digunakan tanpa royalti.

Baca Juga: Jerman Bantah Laporan AS Terkait Penurunan Kondisi HAM di Negaranya

"Kalau itu nanti terjadi digitalisasi, sangat jelas, karena nanti akan dipilih yang public domain dan yang tidak masuk dalam list (pembayaran royalti)," jelasnya.

Haryadi mengungkapkan banyak pengelola restoran dan kafe mengeluh karena harus membayar Rp120 ribu per tahun per kursi hanya untuk memutar lagu di tempat usaha mereka. Ia menekankan perlunya keterlibatan negara dalam pengelolaan royalti.

"Masalah ini semuanya terjadi karena dilepas saja ke LMKN, itu tidak bisa," tegasnya.

"Jadi kehadiran negara itu harus ada, apalagi ini zamannya digitalisasi, semua urusan regulasi itu harus tripartit antara pengguna lagu, pencipta lagu, dan negara sebagai regulator," tambahnya.

Baca Juga: Jelang HUT RI, Istana: Kita Harus Merdeka dari Kebodohan

PHRI mendorong adanya kesepakatan antara pengguna lagu, pencipta lagu, dan negara terkait kategori lagu yang wajib membayar royalti serta besaran tarifnya. Haryadi juga menekankan pentingnya melibatkan pemangku kepentingan, termasuk musisi, dalam penyusunan undang-undang maupun peraturan royalti musik.

Ia menilai sanksi dalam pelanggaran pembayaran royalti seharusnya bersifat hukum perdata, bukan pidana.
"LMKN diberikan kewenangan dan itu menjadi sangat multitafsir, lalu diberikan senjata namanya pidana, yang dipakai untuk memidana semua pihak, itu akan jadi masalah," ujar Haryadi.

Selain itu, ia menilai LMKN perlu membangun sistem informasi lagu dan musik sesuai Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.

Baca Juga: Kemenkes Kirim Tim dan Dukung Proses Hukum atas Kasus Kekerasan Terhadap Dokter RSUD Sekayu

(Sumber: Antara)

 

 

x|close