Ntvnews.id, Jakarta - Menteri Hukum (Menkum), Supratman Andi Agtas, menegaskan bahwa narapidana dari berbagai jenis tindak pidana memiliki peluang untuk memperoleh hak amnesti maupun abolisi dari Presiden Republik Indonesia.
Hal ini, menurut Supratman, karena tidak ada satu pun ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang menyatakan bahwa hak amnesti maupun abolisi hanya dapat diberikan untuk jenis tindak pidana tertentu.
“Semua jenis tindak pidana itu kalau presiden mau menggunakan hak istimewanya boleh,” ujar Supratman dalam wawancara khusus bersama Antara di Jakarta, Senin, 4 Agustus 2025.
Baca Juga: Menko AHY Ajak Mahasiswa ITS Melek Tantangan dan Tren Global
Meski begitu, Supratman mengungkapkan bahwa dalam praktiknya di berbagai negara, hak abolisi dari presiden lebih sering diberikan kepada narapidana yang terlibat dalam perkara politik.
Namun demikian, ia menekankan bahwa tidak terdapat batasan secara hukum mengenai jenis perkara yang bisa menjadi dasar untuk pemberian amnesti dan abolisi.
Secara praktik, kata Supratman, pemberian amnesti dan abolisi oleh presiden dilaksanakan mengacu pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 serta Undang-Undang Darurat (UUDrt) Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi.
Ia juga mengakui bahwa UUDrt No. 11 Tahun 1954 hanya memuat lima pasal yang mengatur tentang ketentuan amnesti dan abolisi, dengan penjelasan umum yang relatif singkat.
Baca Juga: Kata PA Tigaraksa Soal Anak Andre Taulany Diajukan Jadi Saksi Perceraian
Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah saat ini tengah mempersiapkan sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang mencakup Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi.
“Ini sementara berproses, ini sebenarnya di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) ya,” jelasnya.
Supratman juga menyampaikan bahwa dirinya tidak mempermasalahkan apabila RUU tersebut nantinya diajukan baik atas prakarsa pemerintah maupun melalui inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa secara umum masyarakat perlu memahami bahwa amnesti dan abolisi merupakan hak prerogatif yang dimiliki oleh presiden sebagai kepala negara dan dapat diterapkan pada jenis kasus apa pun.
Baca Juga: Stabilitas Harga dan Pasar Jadi Alasan Usulan Moratorium Cukai Rokok
“Kalau tidak setuju itu merupakan hak istimewa presiden, ya UUD-nya yang diamandemen,” tegas Supratman.
Sebagai informasi, abolisi adalah kewenangan kepala negara untuk menghentikan proses penuntutan pidana serta menghentikan jalannya proses hukum yang sedang berlangsung. Hak ini diberikan oleh presiden dengan memperhatikan pertimbangan dari DPR.
Sementara itu, amnesti merupakan bentuk pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan oleh kepala negara kepada individu atau kelompok atas tindak pidana tertentu yang telah dilakukan.
Baca Juga: Prabowo Hapuskan Proses Hukum Terhadap Tom Lembong, Ini Isi Keppresnya
Sebagai contoh terkini, abolisi diberikan kepada Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan periode 2015–2016, setelah divonis hukuman 4 tahun dan 6 bulan penjara serta denda sebesar Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan. Ia dinyatakan bersalah dalam tindak pidana korupsi terkait kasus impor gula di Kementerian Perdagangan, yang menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp194,72 miliar.
Sementara itu, amnesti diberikan kepada 1.178 narapidana, termasuk di antaranya Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, setelah dijatuhi vonis penjara selama 3 tahun dan 6 bulan serta denda sebesar Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan. Ia terbukti memberikan suap dalam perkara perintangan penyidikan terhadap tersangka kasus korupsi Harun Masiku, serta pemberian suap lainnya.
(Sumber: Antara)