Kejagung Bongkar Rekayasa Pengadaan Chromebook oleh 4 Anak Buah Nadiem yang Jadi Tersangka

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 15 Jul 2025, 22:57
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Penulis & Editor
thumbnail-author
Deddy Setiawan
Penulis
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Editor
Bagikan
Konferensi Pers Kejagung Konferensi Pers Kejagung (Tangkapan Layar)

Ntvnews.id, Jakarta - Fakta baru terungkap dari kasus dugaan korupsi dalam proyek digitalisasi pendidikan di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Jaksa penyidik mengungkap bahwa proses pengadaan perangkat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk sekolah diduga direkayasa sejak awal agar mengarah pada penggunaan Chromebook, meski hasil kajian teknis justru merekomendasikan sistem operasi Windows.

“Dalam pelaksanaan pengadaan tersebut, SW, MUL, JT, dan IBAM telah melakukan perbuatan melawan hukum menyalahgunakan kewenangan dengan membuat petunjuk pelaksanaan yang mengarah ke produk tertentu, yaitu ChromeOS untuk pengadaan TIK pada tahun anggaran 2020–2020,” ungkap Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar di Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa malam, 15 Juli 2025.

Menurut penyidik, pemaksaan terhadap penggunaan Chromebook ini berbanding terbalik dengan hasil uji coba yang dilakukan setahun sebelumnya.

"Supaya diarahkan pada penggunaan laptop yang berbasis pada sistem operasi Chrome," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar.

Baca Juga: 4 Anak Buah Nadiem Makarim Ditetapkan Tersangka Korupsi Pengadaan Laptop di Kemendikbudristek

Ia mengungkapkan bahwa pada 2019, Pustekom Kemendikbudristek telah menguji 1.000 unit Chromebook dan hasilnya menyatakan perangkat tersebut tidak cocok, terutama untuk wilayah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal).

“Karena Chrome OS banyak kelemahan untuk daerah 3T, yaitu daerah terdepan, terluar, dan tertinggal,” kata Qohar.

Kajian awal dari tim teknis bahkan menyarankan penggunaan sistem operasi Windows sebagai alternatif yang lebih sesuai. Namun anehnya, Kemendikbudristek saat itu mengganti dokumen tersebut dengan kajian baru yang justru mendukung penggunaan Chromebook.

Diduga, perubahan arah kebijakan ini bukan semata keputusan teknis, tetapi bagian dari skenario pemufakatan yang melibatkan empat pejabat dan mantan pejabat: Jurist Tan (Stafsus Mendikbudristek 2020–2024), Ibrahim Arief (konsultan teknologi), Sri Wahyuningsih (Direktur SD sekaligus kuasa pengguna anggaran), dan Mulyatsyah (Direktur SMP dan juga kuasa pengguna anggaran).

Akibat dari keputusan itu, program digitalisasi yang seharusnya menyasar sekolah-sekolah di seluruh Indonesia justru gagal mencapai tujuannya.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by NTV News (@ntvnews.id)

“Pengadaan tersebut merugikan keuangan negara serta tujuan pengadaan TIK untuk siswa sekolah tidak tercapai,” tegas Qohar.

Penyidik memperkirakan kerugian negara mencapai Rp1,9 triliun dalam proyek yang berlangsung pada 2019 hingga 2022 itu.

Dari empat nama tersebut, tiga telah ditahan, sementara satu tersangka, Jurist Tan, masih berada di luar negeri dan dalam pencarian. Tersangka Ibrahim Arief tidak ditahan di rutan karena kondisi kesehatan.

“IBAM penahanan kota karena berdasarkan hasil pemeriksaan dokter ada gangguan jantung kronis,” jelas Qohar.

Kasus ini menjadi gambaran bagaimana kebijakan publik yang seharusnya berbasis kebutuhan dan kajian teknis justru dapat dibelokkan oleh segelintir pihak, hingga mengorbankan efektivitas program dan berujung pada kerugian negara.

x|close