Ntvnews.id, Jakarta - Aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat tepatnya di Pulau Gag, ternyata bukan baru berlangsung. Pertambangan nikel eksplorasinya sudah dilakukan sejak ratusan tahun lalu. Bahkan semenjak zaman Belanda, tepatnya pada tahun 1920-an dan berlanjut sampai dekade 1950-an.
Usai dinasionalisasi, kegiatan eksplorasi dilanjutkan oleh perusahaan-perusahaan lain, termasuk PT Pacific Nickel Indonesia dari Amerika Serikat (AS), hingga akhirnya terbentuk PT Gag Nikel pada 1996.
Dikutip dari berbagai sumber, PT Gag Nikel merupakan perusahaan hasil kerja sama antara raksasa tambang asal Australia, BHP Billiton, melalui anak usahanya Asia Pacific Nickel yang memegang 75 persen saham), dan PT Aneka Tambang (ANTAM) sebagai perusahaan milik negara Indonesia memegang 25 persen.
Kontrak Karya (KK) Generasi VII PT Gag Nikel ditandatangani langsung oleh Presiden Soeharto pada 19 Januari 1998, menjadikan perusahaan ini resmi beroperasi di bawah naungan hukum pertambangan Indonesia.
Lalu pada tahun 2004, terbit Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 2004 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, yang isinya memberikan pengecualian bagi 13 perusahaan tambang, termasuk PT Gag Nikel, untuk tetap beroperasi di kawasan hutan lindung.
Keputusan Megawati menjadi kontroversial, karena bertentangan dengan Undang-Undang (UU) No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang melarang pertambangan terbuka di kawasan itu.
Pemerintahan Megawati beralasan, bahwa 13 perusahaan ini telah mengantongi kontrak karya sebelum lahirnya UU Kehutanan, sehingga diberikan dispensasi khusus.
Pada 2008, BHP Billiton memutuskan untuk menarik diri dari proyek ini, dan seluruh kepemilikan dialihkan ke PT ANTAM, yang selanjutnya menguasai penuh PT Gag Nikel.
Kendati Asia Pacific Nickel masih terdaftar di Australia, kontrol operasional berada sepenuhnya di tangan BUMN Indonesia tersebut.
Konsesi yang dikuasai PT Gag Nikel di Pulau Gag sangat luas, mencapai 13.136 hektare, dengan rincian daratan 6.060 hektare dan lautan 7.076 hektare. Artinya, hampir seluruh wilayah daratan Pulau Gag yang hanya memiliki luas 6.500 hektare, termasuk dalam konsesi perusahaan.
Di sisi lain, persoalan hukum lain hadir dengan adanya UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014. Regulasi itu menyatakan pulau kecil dengan luas kurang dari 200.000 hektare tidak diperbolehkan menjadi lokasi aktivitas pertambangan. Pulau Gag pun termasuk dalam kategori ini.
Diketahui, protes terhadap aktivitas tambang nikel di Raja Ampat bermula dari diamankannya aktivis Greenpeace Indonesia dan wanita Papua di konferensi internasional tentang nikel di salah satu hotel mewah di Jakarta. Selanjutnya, ramai di media sosial penolakan terhadap eksplorasi tersebut, yang dinyatakan berbagai kalangan.