Ntvnews.id, Jakarta - Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) yang baru telah berlaku sejak 24 Februari 2025 lalu. Salah satu hal yang jadi sorotan, penegak hukum tak bisa lagi menjerat direksi dan komisaris BUMN yang korupsi, karena bukan termasuk penyelenggara negara.
Akibatnya polemik pun muncul. UU BUMN anyar dinilai melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
Merespons hal ini, Komisi III DPR RI menyarankan masyarakat atau pihak mana pun yang tak setuju dengan UU BUMN, untuk mengajukan gugatan.
"Saya katakan ya silakan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), kalau Anda merasa tidak cocok dengan pasal tersebut," ujar Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 6 Mei 2025.
Walau begitu, Nasir enggan berkomentar banyak perihal pasal terkait soal definisi penyelenggara negara, karena bukan Komisi III yang merancang UU BUMN. Tapi, kata dia, agar pihak yang tak sependapat dengan UU tersebut, untuk menggunakan jalur konstitusional.
"Jadi kalau ada warga negara yang merasa keberatan, ini tidak cocok, bertentangan dengan asas bahwa negara ini negara hukum, semua orang sama di depan hukum, dan negara juga sedang memberantas korupsi, presiden ke mana-mana, mereka akan menghajar koruptor, menyikat habis koruptor, lalu ada pasal seperti itu. Maka mereka bisa menguji ke Mahkamah Konstitusi," papar Nasir.
Sebelumnya, KPK berencana melakukan kajian atas hadirnya UU BUMN baru. Sementara Kejaksaan Agung (Kejagung) menilai UU BUMN tak menjadi halangan bagi pihaknya memproses hukum bos BUMN.
Sebab, ketika ada fraud pada BUMN, penyelidikan akan dilakukan Kejagung. Fraud sendiri dinilai sebagai bentuk korupsi.