Ntvnews.id, Jakarta - Penyederhanaan regulasi serta penguatan industri tekstil nasional dinilai menjadi kunci untuk meningkatkan daya saing sekaligus menekan maraknya praktik thrifting di dalam negeri. Hal tersebut disampaikan Ketua Umum Asosiasi Garmen dan Tekstil Indonesia (AGTI), Anne Patricia Sutanto, usai melakukan audiensi dengan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa beserta jajaran Kementerian Keuangan di Gedung Juanda, Jakarta Pusat.
Anne menuturkan, bahwa secara kapasitas, Indonesia memiliki potensi besar untuk memenuhi kebutuhan tekstil domestik sekaligus menembus pasar global. Namun demikian, industri nasional masih dihadapkan pada sejumlah tantangan struktural dan tuntutan standar internasional yang belum sepenuhnya terpenuhi.
“Indonesia punya potensi besar, tetapi masih ada tantangan yang harus diselesaikan agar mampu bersaing di pasar global,” ujar Anne, kepada wartawan, Kamis, 4 Desember 2025.
Ia menambahkan, pemerintah telah menunjukkan komitmen untuk mendukung kelancaran impor bahan baku yang masih dibutuhkan industri, terutama bagi sektor yang belum dapat dipenuhi oleh pasar dalam negeri. Anne menilai penguatan koordinasi lintas kementerian sangat penting agar pasokan bahan baku tidak terhambat oleh regulasi yang tumpang tindih.
“Jika regulasi bisa disederhanakan, daya saing industri akan meningkat. Pemerintah sudah memiliki kemauan untuk mendukung, tinggal bagaimana kebijakan itu diselaraskan,” ujarnya.
Anne menegaskan bahwa impor tetap diperlukan, khususnya untuk jenis bahan baku tertentu yang belum tersedia di dalam negeri atau belum memenuhi standar mutu global. Keterbatasan pengembangan produk (product development) di sebagian pabrik lokal membuat sejumlah merek internasional masih bergantung pada bahan baku impor untuk memenuhi spesifikasi teknis dan aspek keberlanjutan.
“Pengembangan produk kita masih terbatas. Itu sebabnya beberapa merek global masih memilih menggunakan bahan impor,” tegas Anne.
Menurut Anne, kemampuan industri lokal pada dasarnya ada, namun belum merata. Tantangan terbesar terletak pada pemenuhan standar Environmental, Social, and Governance (ESG), yang mencakup aspek lingkungan, sosial, hingga penggunaan energi ramah lingkungan. Banyak pabrik, kata dia, belum mampu memenuhi seluruh persyaratan tersebut secara utuh.
“Jika standar lingkungan, perizinan, upah minimum, hingga penggunaan energi non-pool bisa dipenuhi, produk dalam negeri sebenarnya berpeluang besar diterima oleh merek internasional,” tegasnya.
Dalam praktiknya, kata dia, bahan kain untuk memenuhi pesanan merek global masih banyak yang harus diimpor. Hal ini disebabkan sebagian pabrik lokal belum mampu menghasilkan kain dengan kualitas yang konsisten sesuai standar global, terutama untuk segmen performance fabric dan sustainable textile.
“Kita sebenarnya kompetitif, tetapi kapasitas produksi belum cukup besar dan kecepatannya juga masih terbatas,” kata Anne.
Di sisi lain, kebutuhan untuk busana muslim dan kerudung, menurut Anne, sebagian besar sudah dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Namun untuk jenis kain tertentu yang memerlukan teknologi finishing khusus atau karakter handfeel tertentu, impor masih tetap diperlukan karena tidak semua pabrik lokal memiliki fasilitas produksi yang memadai.
“Secara kapasitas sebenarnya bisa, tetapi untuk spesifikasi tertentu masih harus mengandalkan impor,” ujarnya.
Anne juga menilai bahwa penguatan industri lokal dan terjaminnya ketersediaan bahan baku akan berkontribusi dalam menekan ketergantungan pasar terhadap produk pakaian bekas impor atau thrifting. Namun, ia menegaskan bahwa penurunan thrifting tidak hanya bergantung pada produksi dalam negeri, melainkan juga memerlukan penegakan regulasi yang konsisten serta perubahan perilaku pasar.
“Jika daya saing meningkat dan pasokan lokal kuat, thrifting pasti berkurang. Tetapi tetap dibutuhkan kepastian regulasi,” pungkasnya.
Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa bersama Ketua Umum AGTI Anne Patricia Sutanto.