Erick Thohir Bantah Dirinya dan Prabowo Cawe-cawe FIFA Agar Sanksi Malaysia

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 29 Sep 2025, 21:49
thumbnail-author
Moh. Rizky
Penulis
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Editor
Bagikan
Ketum PSSI Erick Thohir berfoto dengan Presiden FIFA Gianni Infantino dalam acara FIFA Executive Football Summit 2025 di Miami, Amerika Serikat. Ketum PSSI Erick Thohir berfoto dengan Presiden FIFA Gianni Infantino dalam acara FIFA Executive Football Summit 2025 di Miami, Amerika Serikat. (ANTARA)

Ntvnews.id, Jakarta - Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) yang juga Ketua Umum PSSI Erick Thohir, membantah isu yang menyebut Indonesia berperan dalam sanksi FIFA terhadap kebijakan naturalisasi Malaysia. Erick menegaskan pemerintah Indonesia maupun dirinya, tak ikut campur urusan negara lain.

Hal ini dinyatakan Erick usai rapat kerja dengan Komisi X DPR RI. Mulanya, Erick menyebut pihaknya menghargai apabila ada negara di Asia Tenggara yang olahraganya mau maju.

"Kami sendiri dari Kemenpora atau saya pribadi kita tentu harus menghargai semua negara di Asia Tenggara ketika ingin olahraganya maju," ujar Erick kepada wartawan, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 29 September 2025.

Menurut Erick, Indonesia juga termasuk dari negara di Asia Tenggara yang ingin olahraganya maju. Tak terkecuali dalam hal sepak bola. Karenanya, kebijakan naturalisasi diambil pemerintah.

"Tapi mohon maaf, kalau kami di Indonesia ingin olahraganya maju, ingin sepak bolanya bagus, bulutangkisnya bagus, pencak silatnya mendunia, olahraga-olahraga kita ingin maju ya kita harus lakukan itu (naturalisasi)," tutur Erick.

Meski Indonesia ingin olahraganya maju, ia menegaskan cara-cara yang menyalahi ketentuan takkan dilakukan pemerintah RI. Termasuk ikut campur dalam urusan negara lain.

"Tapi kita tidak intervensi, tidak ikut campur isu-isu negara lain," ucapnya.

Lebih lanjut, Erick mengungkapkan upaya memajukan olahraga Indonesia telah mendapat dukungan penuh Presiden Prabowo Subianto. Prabowo, kata Erick ingin standar internasional diberlakukan dalam olahraga Tanah Air.

"Saya ingin menyampaikan bahwa Presiden sudah mengeluarkan Perpres Nomor 12 Tahun 2025, RPJMN 2025–2029. Bapak Presiden ingin standardisasi organisasi olahraga Indonesia itu skala internasional. Artinya apa? Bagaimana semua punya KPI, tolak ukur yang jelas, dan jangan sampai atlet menjadi korban. Ini standar yang dilakukan Bapak Presiden," papar Erick.

Prabowo sendiri sempat bertemu dengan Presiden FIFA Gianii Infantino di New York, di sela kunjungan Prabowo ke Markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam rangka mengikuti sidang umum, Rabu, 24 September 2025. Menurut Erick, pembicaraan Prabowo dan Presiden FIFA hanya seputar sepak bola Indonesia, bukan negara lain.

"Pembicaraan Bapak Presiden dengan Presiden Gianni jelas, Bapak Presiden bicara mengenai sepak bola Indonesia, tidak bicara mengenai negara lain. Salah satunya bagaimana FIFA Academy bisa ada di Indonesia, dan FIFA juga mendorong kejuaraan dunia U-15 dengan sistem baru 8 vs 8," tegasnya.

Diketahui, Komite Disiplin FIFA menjatuhkan sanksi berat dalam kasus dugaan pemalsuan dokumen naturalisasi tujuh pemain naturalisasi Malaysia. Sebagian warga Malaysia sontak bereaksi dengan menuding ada campur tangan pihak luar, termasuk Indonesia, dalam keputusan FIFA itu.

Pada Jumat, 26 September 2025, FIFA mengumumkan bahwa Federasi Sepak Bola Malaysia (FAM) melanggar Pasal 22 Kode Disiplin FIFA tentang pemalsuan dokumen. Adapun tujuh pemain yang dinaturalisasi FAM yakni Facundo Garces, Jon Irazabal, Hector Hevel, Joao Figueiredo, Imanol Machuca, Rodrigo Holgado, dan Gabriel Palmero.

Putra Mahkota Johor sekaligus bos JDT, Tunku Ismail Idris, menuding keterlibatan Indonesia terkait sanksi FIFA ke Malaysia. Salah satunya lewat pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan Presiden FIFA Gianni Infantino.

Akibat persoalan ini, FAM dijatuhi denda sebesar sebesar 350.000 CHF atau setara dengan Rp7 miliar. Sementara ketujuh pemain naturalisasi Malaysia, dilarang beraktivitas dalam sepak bola selama 12 bulan, baik di level nasional maupun internasional dan akan dikenai denda sebesar 2.000 CHF atau sekitar Rp 41 juta.

x|close