Ntvnews.id, Jakarta - Informasi di atas bukan untuk menginspirasi siapa pun guna melakukan tindakan serupa. Bagi Anda yang merasakan gejala depresi dan cenderung hendak melakukan bunuh diri, segera konsultasi ke psikolog atau psikiater, serta mendatangi klinik kesehatan mental.
Semuanya bermula dari sebuah pesan singkat yang seharusnya tak pernah muncul dalam relasi akademik. Pesan itu datang dari seorang dosen kepada mahasiswinya, dan perlahan menjadi awal runtuhnya ketenangan seorang perempuan muda yang merantau demi pendidikan.
Bagi Evia Maria Mangolo, permintaan yang datang dari sosok berotoritas di kampus berubah menjadi tekanan psikologis yang terus menumpuk. Beban itu akhirnya berujung pada tragedi kemanusiaan yang mengguncang publik.
Kematian mahasiswi Universitas Negeri Manado (UNIMA) di Kota Tomohon, Sulawesi Utara, semula disebut sebagai bunuh diri akibat persoalan pribadi. Namun pandangan itu berubah setelah beredar sebuah surat pernyataan yang diduga ditulis korban sebelum mengakhiri hidupnya. Surat tersebut memuat pengakuan tentang dugaan pelecehan seksual di lingkungan kampus, dengan terduga pelaku seorang dosen.
Evia Maria Mangolo merupakan mahasiswi aktif Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) angkatan 2022, Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi (FIPP) UNIMA. Ia berasal dari Kabupaten Kepulauan Sitaro, Sulawesi Utara, dan menempuh pendidikan sebagai mahasiswi perantau.
Perjalanan akademik yang ia jalani dengan harapan besar berakhir tragis. Maria ditemukan meninggal dunia dalam kondisi gantung diri di kamar kosnya di Kaaten, Kelurahan Matani Satu, Kota Tomohon. Duka menyelimuti keluarga, sahabat, dan lingkungan kampus.
Di tengah duka itu, publik dikejutkan oleh kemunculan surat pengaduan yang kemudian mengubah arah perhatian terhadap kasus ini.
Baca Juga: Mikel Arteta Puas Arsenal Hancurkan Aston Villa Skor 4-1
Surat tersebut ditujukan kepada Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi UNIMA, Dr. Aldjon Dapa, M.Pd. Isinya merupakan laporan dugaan pelecehan seksual yang dialami Maria, dengan terduga pelaku berinisial DM, seorang dosen di fakultas yang sama.
Dalam surat itu, Maria menuliskan kronologi kejadian serta tekanan batin yang ia alami. Salah satu bagian yang paling menyayat adalah pengakuannya tentang awal peristiwa tersebut.
“Pada hari Jumat tanggal 12 Desember, sekitar jam satu siang Mner Danny chat ke saya.
Beliau bertanya kepada saya kalau saya bisa urut ke dia. Saya jawab, ‘Maria tidak tau ba urut Mner’. Mner bilang, ‘Mener capek sekali’. Dalam pikiran saya itu bukan hak saya untuk melayani dia seperti itu,” tulisnya.
Pengakuan ini memperlihatkan bagaimana relasi kuasa dalam dunia akademik dapat menempatkan mahasiswa pada posisi yang sangat rentan.
Sebelum kematiannya, Maria diketahui sempat mengadukan dugaan pelecehan tersebut kepada dosen pembimbing akademiknya. Namun laporan itu diduga tidak mendapat tindak lanjut yang serius.
Tekanan psikologis yang dialami Maria pun semakin berat. Dalam suratnya, ia menggambarkan rasa trauma, ketakutan, dan tekanan mental yang terus menghantuinya.
Baca Juga: Kapolri Tinjau Lokasi Pembangunan Huntap Polri untuk Korban Bencana Aceh Tamiang
“Kejadian tersebut masih dalam lingkup kampus FIPP. Dampak yang saya rasakan adalah trauma dan ketakutan. Setiap bertemu DM, saya merasa malu jika ada mahasiswa yang melihat saya naik atau turun dari mobilnya karena bisa menjadi bahan pembicaraan. Saya merasa tertekan dengan masalah ini,” ujarnya.
Lingkungan kampus yang seharusnya aman justru menjadi sumber ketakutan bagi seorang mahasiswi. Di bagian akhir suratnya, Maria menyampaikan harapan terakhir kepada pimpinan fakultas.
“Saya memohon agar pihak pimpinan dapat menangani masalah ini,” ungkap dia.
Ironisnya, surat tersebut baru menjadi perhatian luas setelah Maria meninggal dunia. Permohonan perlindungan itu tidak sempat memberinya rasa aman ketika ia masih hidup.
Maria diduga mengalami tekanan psikologis berat dan depresi akibat dugaan pelecehan seksual tersebut. Relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa membuat korban merasa terjebak dan tidak memiliki ruang aman untuk mencari perlindungan, kondisi yang kuat diduga mendorongnya mengakhiri hidup.
Baca Juga: Dalami Kasus Pemerasan Jaksa Kejari HSU, KPK Periksa 15 Saksi
Tragedi ini memicu desakan agar kasus tersebut diusut secara menyeluruh. Ketua Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Sulawesi Utara sekaligus Sekretaris Organisasi Masyarakat Adat Brigade Nusa Utara, Alpianus Tempongbuka, S.Ap, menyuarakan tuntutan itu secara terbuka.
“Ini adalah wabah dalam dunia Pendidikan, tindakan Pelecehan seksual adalah sesuatu yang mudah tercipta karna otoritas seorang dosen. Pihak berwenang dalam hal ini Aparat Penegak Hukum harus segera bertindak,” ujarnya.
Kisah Evia Maria Mangolo kini menjadi cermin pahit tentang rapuhnya sistem perlindungan mahasiswa, serta pentingnya tanggung jawab institusi pendidikan dalam memastikan ruang aman bagi mereka yang paling rentan.
Mahasiswi di UNIMA Bunuh Diri Usai Dilecehkan Dosen (Instagram)