Ntvnews.id, London - Kebijakan pemerintah Inggris yang memperketat ketentuan visa mahasiswa mulai menggeser peta pendidikan global dan sekaligus mempersempit kesempatan sebagian calon mahasiswa asal Pakistan dan Bangladesh untuk melanjutkan studi ke universitas-universitas di Inggris.
Dilansir dari CNA, Jumat, 26 Desember 2025, Aturan tersebut diterapkan di tengah upaya pemerintah menekan praktik penyalahgunaan visa pelajar, dengan memberlakukan persyaratan lebih ketat bagi perguruan tinggi agar hanya mensponsori pemohon yang dinilai benar-benar memiliki niat menempuh pendidikan.
Mengacu pada kebijakan Kementerian Dalam Negeri Inggris yang berlaku sejak September, universitas diwajibkan menjaga tingkat penolakan visa mahasiswa yang mereka sponsori di bawah 5 persen. Namun, angka penolakan untuk pemohon dari Pakistan dan Bangladesh jauh melampaui batas tersebut, masing-masing mencapai 18 persen dan 22 persen.
Universitas di Bawah Tekanan
Pengetatan kebijakan ini muncul seiring meningkatnya kekhawatiran bahwa visa mahasiswa kerap dimanfaatkan sebagai jalur alternatif masuk ke Inggris. Perkiraan pemerintah menunjukkan sekitar 16.000 orang yang memasuki Inggris dengan visa pelajar pada 2024 kemudian mengajukan suaka.
Baca Juga: Harga Emas Pegadaian 26 Desember 2025, UBS dan Galeri24 Turun ke Rp2,64 Juta per Gram
Lebih dari 80 persen pencari suaka asal Pakistan dan Bangladesh disebut awalnya tiba di Inggris menggunakan visa sah untuk bekerja atau belajar. Isu ini menjadi sensitif secara politik dan mendorong pemerintah mengambil langkah tegas.
Samah Rafiq, salah satu pimpinan kelompok riset perbatasan dan migrasi di King’s College London, menilai kebijakan tersebut berdampak luas.
“Pilihan bagi pencari suaka yang benar-benar membutuhkan perlindungan untuk mencapai Inggris sangat terbatas, sementara jalur aman dan legal yang tersedia terus dipersempit melalui kebijakan di Inggris maupun Uni Eropa,” ujarnya, dikutip dari Channel News Asia, Rabu, 24 Desember 2025.
Data juga menunjukkan bahwa pada tahun lalu, setengah dari seluruh permohonan visa mahasiswa Inggris yang ditolak berasal dari Pakistan dan Bangladesh.
Respons Pemerintah dan Kampus
perpanjangan paspor (pixabay.com )
Juru bicara Kementerian Dalam Negeri Inggris menyatakan bahwa pemerintah tetap menghargai kontribusi mahasiswa internasional, namun menilai pengetatan aturan merupakan langkah yang diperlukan.
“Itulah sebabnya kami memperketat aturan untuk memastikan mereka yang datang benar-benar mahasiswa, dan lembaga pendidikan menjalankan tanggung jawabnya dengan serius,” kata juru bicara tersebut.
Bagi universitas, kebijakan ini membawa risiko besar. Kampus yang tidak memenuhi ketentuan berpotensi dilarang menerima mahasiswa internasional, padahal biaya kuliah dari mahasiswa asing menyumbang sekitar seperempat pendapatan universitas di Inggris.
Sebagai langkah antisipasi, sejumlah kampus memperketat proses seleksi bagi pemohon dari Pakistan dan Bangladesh, sementara kampus lainnya memilih menghentikan penerimaan dari kedua negara tersebut.
Universitas London Metropolitan, misalnya, mengungkapkan kepada CNA bahwa mereka menangguhkan aplikasi dari Bangladesh setelah terjadi lonjakan penolakan oleh Kementerian Dalam Negeri. Wakil rektor Gary Davies menyebut sekitar 60 hingga 65 persen aplikasi yang ditolak berasal dari Bangladesh, yang mengindikasikan wilayah tersebut dinilai berisiko tinggi oleh pemerintah.
Baca Juga: Bruno Fernandes Cedera, Amorim Tetap Optimis MU Menang
Meski kebijakan ini diharapkan dapat menekan penyalahgunaan visa, para pengkritik mengingatkan bahwa mahasiswa yang benar-benar ingin belajar turut terdampak. Md Humayun Roshid, pendiri Bangladeshi Students Association UK, menyatakan mendukung penguatan kepatuhan, namun menilai langkah tersebut seharusnya dilakukan lebih awal agar tidak memicu dampak luas seperti saat ini.
Arah Studi Bergeser ke Asia
Sikap tegas Inggris muncul di tengah tren serupa di sejumlah negara Barat lainnya, seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Australia, yang juga memperketat kebijakan imigrasi. Situasi ini kian mempersempit pilihan bagi mahasiswa Pakistan yang ingin menempuh pendidikan di luar negeri.
Hassan Mujtaba, 23 tahun, asal Peshawar, mengaku tetap optimistis bisa meraih gelar di Inggris. “Saya mahasiswa yang benar-benar ingin belajar. Jadi kebijakan ini tidak memengaruhi saya,” ujarnya. Ia bahkan menilai aturan baru tersebut dapat menyaring pihak-pihak yang menyalahgunakan sistem.
Namun, bagi banyak calon mahasiswa lain, penolakan visa memaksa perubahan rencana studi. Konsultan pendidikan mencatat semakin banyak pelajar yang beralih ke negara-negara Asia dengan biaya kuliah lebih terjangkau, proses visa lebih sederhana, serta persyaratan bahasa yang tidak terlalu ketat.
“Pasar Malaysia sedang berkembang,” kata Amer Aziz, kepala tujuan Inggris di FES Consultants. “Di Malaysia tidak diperlukan rekening bank, prosesnya sangat lancar, dan peluang visanya tinggi.”
Pejabat di Islamabad menilai kerja sama yang lebih erat dengan otoritas Inggris diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan visa mahasiswa dan memperbaiki proses penyaringan sejak awal. Sementara itu, sejumlah kalangan menekankan bahwa pembenahan juga harus dimulai dari dalam negeri.
“Akuntabilitas adalah yang paling penting, karena reputasi Pakistan yang dipertaruhkan,” kata Mirza Nouman Ali Talib dari National Defence University di Islamabad.
Bendera Inggris (Istimewa)