Ntvnews.id, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengomentari peristiwa ledakan di masjid kompleks SMAN 72 Jakarta, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Menurut Anggota DPR RI Selly Andriany Gantina, menilai kejadian ini bukan sekadar bencana fisik.
Namun juga meninggalkan dampak psikologis bagi seluruh ekosistem sekolah, mulai dari siswa, guru, orang tua, hingga tenaga pendukung.
"Kita tidak hanya bicara soal luka tubuh, tetapi juga luka batin. Anak-anak, guru, orang tua, bahkan petugas sekolah bisa mengalami trauma. Karena itu, penanganannya tidak boleh sepotong-sepotong, harus menyeluruh, lintas aspek, dan lintas instansi," ujar Selly, Senin, 10 November 2025.
Diketahui, ledakan di SMAN 72 menyebabkan 54 orang terluka, yang sebagian besar merupakan siswa. Hasil penyelidikan sementara, pelaku pengeboman diduga siswa sekolah itu yang berusia 17 tahun. Siswa kelas 12 tersebut, diduga kerap jadi korban bullying atau perundungan di sekolah.
Baca Juga: Terduga Pelaku Ledakan SMAN 72 Dipindahkan ke RS Polri
Selly memandang, tragedi ini sebagai peringatan serius bahwa banyak sekolah di Indonesia belum sepenuhnya menjadi ruang aman bagi anak. Ia pun menyoroti pandangan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menyebut pelaku kurang mendapatkan perhatian dari orang tua dan sekolah.
Selly menegaskan, persoalan ini harus dilihat dalam konteks tanggung jawab sistemik.
"Masalahnya bukan hanya di rumah atau di sekolah, tetapi di ekosistem perlindungan anak yang belum bekerja optimal. Anak kehilangan ruang aman untuk bicara, kehilangan telinga yang mau mendengar," jelasnya.
Menurut Anggota Komisi VIII DPR itu, saat ini banyak anak melampiaskan rasa terasing dan kegelisahan ke ruang digital.
Baca Juga: 2 Korban Ledakan SMAN 72 Masih Dirawat Intensif di RSIJ Cempaka Putih
"Jika sekolah tidak ramah dan rumah tidak menjadi tempat curhat, maka media sosial mengambil alih fungsi pendidikan emosional anak. Itu yang berbahaya," tuturnya.
Selly berharap bahwa penanganan pascatragedi tidak cukup hanya secara medis. Karena, trauma akibat peristiwa tersebut bersifat komunal dan berdampak pada seluruh lingkungan sekolah.
"Anak yang tidak terluka pun bisa trauma. Guru, staf, hingga orang tua juga terdampak secara psikis. Maka, pemulihan psikotraumatik harus dilakukan secara menyeluruh, bukan selektif," jelasnya.
Selly mendorong Kementerian PPPA, Dinas Pendidikan, dan KPAI untuk segera membentuk Tim Respon Krisis Sekolah yang melibatkan psikolog, guru BK, serta perwakilan orang tua. Tim itu diharapkan mampu melakukan asesmen psikologis dan menyusun program pemulihan kolektif pasca-trauma di lingkungan sekolah.
Baca Juga: Para Korban Ledakan SMAN 72 Masih Trauma
Selly pun menyoroti perlunya evaluasi menyeluruh terhadap konsep Sekolah Ramah Anak yang dinilainya belum memiliki indikator terukur dan mekanisme pengawasan yang kuat.
"Ramah anak bukan sekadar slogan di dinding sekolah. Itu harus nyata dalam sistem: ada kanal aduan yang aman, ada pendidikan anti-bullying, serta ruang dialog antara anak, guru, dan orang tua," kata dia.
Menurut Selly, pentingnya literasi digital dan komunikasi empatik bagi orang tua agar mampu mengenali tanda-tanda distress pada anak." Banyak orang tua tidak sadar, perubahan kecil pada perilaku anak bisa menjadi sinyal bahaya. Karena itu, mereka perlu dibekali kemampuan komunikasi yang peka," pungkas politikus PDIP.
Salah satu korban diduga tewas di lokasi ledakan SMAN 72 Jakarta, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Jumat, 7 November 2025. (Istimewa)