Dokter PPDS Undip Divonis 9 Bulan Penjara karena Pemerasan terhadap Junior

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 1 Okt 2025, 14:29
thumbnail-author
Satria Angkasa
Penulis
thumbnail-author
Beno Junianto
Editor
Bagikan
Terdakwa kasus pemerasan dokter residen junior PPDS Anestesi Undip Semarang Zara Yupita Azra berkonsultasi dengan penasihat hukum saat sidang di PN Semarang, Rabu (ANTARA/I.C. Senjaya) Terdakwa kasus pemerasan dokter residen junior PPDS Anestesi Undip Semarang Zara Yupita Azra berkonsultasi dengan penasihat hukum saat sidang di PN Semarang, Rabu (ANTARA/I.C. Senjaya) (Antara)

Ntvnews.id, Semarang - Zara Yupita Azra, dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, dijatuhi hukuman sembilan bulan penjara terkait kasus pemerasan terhadap residen junior di lembaga pendidikan tersebut.

Putusan dibacakan oleh Hakim Ketua Muhammad Djohan Arifin dalam sidang di Pengadilan Negeri Semarang pada Rabu. Hukuman ini lebih ringan dibanding tuntutan jaksa yang sebelumnya meminta pidana 1,5 tahun penjara.

“Menyatakan terdakwa terbukti bersalah melanggar Pasal 368 Ayat 1 tentang pemerasan secara bersama-sama dan berlanjut,” ujar hakim Djohan Arifin.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai terdakwa, yang merupakan residen PPDS Anestesi angkatan 76, meminta para residen angkatan 77 untuk membayar sejumlah iuran. Dana tersebut, menurut hakim, digunakan untuk berbagai keperluan operasional selama pendidikan.

Iuran tersebut dipakai untuk beberapa hal, antara lain penyediaan makan prolong hingga pembayaran jasa “joki” tugas bagi residen senior.

Selain itu, hakim juga mencatat adanya beban tugas tambahan bagi residen junior yang muncul akibat sistem hierarki di lingkungan PPDS Anestesi.

Baca Juga: Dokter PPDS UI Ngaku Cuma Iseng Rekam Mahasiswi Mandi

Majelis hakim menegaskan bahwa tindakan terdakwa tidak memiliki dasar hukum dan termasuk perbuatan melawan hukum. “Kekuasaan satu pihak atas pihak lainnya,” ucap hakim, menyoroti relasi kuasa bersifat hierarki yang berlaku di lingkungan pendidikan tersebut.

Ia menambahkan, sistem tingkatan antarangkatan yang sudah berlangsung turun-temurun, serta adanya pasal dan tata krama yang diberlakukan oleh senior kepada junior, turut memperkuat praktik tersebut.

Hakim juga menilai perbuatan terdakwa tidak mendukung upaya pemerintah dalam menciptakan penyelenggaraan pendidikan yang ramah serta terjangkau.

Atas vonis tersebut, baik pihak terdakwa maupun jaksa penuntut umum sama-sama menyatakan masih pikir-pikir sebelum memutuskan langkah hukum berikutnya.

(Sumber : Antara)

x|close