Ada Jejak Tsunami Kuno di Cilacap Lewat Mikrofauna Laut

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 7 Agu 2025, 08:49
thumbnail-author
Irene Anggita
Penulis
thumbnail-author
Siti Ruqoyah
Editor
Bagikan
Arsip foto - Penggalian tanah dalam riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menemukan endapan tsunami purba berusia sekitar 1.800 tahun. Arsip foto - Penggalian tanah dalam riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menemukan endapan tsunami purba berusia sekitar 1.800 tahun. (ANTARA)

Ntvnews.id,

 Jakarta - Penelitian yang dilakukan oleh tim dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap temuan mikroorganisme laut purba berupa foraminifera dalam lapisan pasir di kawasan rawa Adipala, Cilacap, Jawa Tengah. Temuan ini menjadi petunjuk kuat bahwa wilayah tersebut kemungkinan besar pernah dilanda tsunami besar di masa lampau.

Purna Sulastya Putra, peneliti paleotsunami dari Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN, menjelaskan dalam pertemuan di Jakarta pada Rabu bahwa keberadaan cangkang foraminifera ditemukan dari penggalian sedimen di Adipala, serta di beberapa daerah lain seperti Lebak (Banten), Pangandaran, dan Pulau Ndrogo.

Foraminifera merupakan jenis mikrofauna laut yang secara alami hanya dapat hidup di perairan laut dalam dan tidak akan terbentuk secara spontan di lingkungan daratan.

“Cangkang-cangkang foraminifera, termasuk yang masih sangat kecil atau juvenil, menunjukkan bahwa mereka tertransport dari laut oleh gelombang besar ke area rawa yang kini menjadi daratan. Ini salah satu indikator kuat bahwa terjadi peristiwa tsunami besar di masa lalu,” jelas Purna.

Sejak tahun 2021, BRIN telah gencar melakukan studi paleotsunami di sepanjang pesisir selatan Pulau Jawa. Wilayah ini dianggap memiliki karakteristik geologi yang sesuai untuk menyimpan catatan sejarah tsunami, seperti adanya rawa aktif dan lahan pertanian yang umumnya terletak sekitar dua kilometer dari garis pantai.

Di beberapa titik penggalian, tim peneliti juga berhasil menemukan keberadaan mineral laut serta cabang karang yang masih dalam kondisi hidup namun terkubur oleh pasir, yang turut memperkuat dugaan terjadinya bencana besar.

Menurut Purna, keberadaan foraminifera beserta elemen-elemen laut lainnya dalam sedimen ini menjadi data ilmiah yang sangat penting. Data tersebut dapat digunakan untuk melacak sejarah kejadian tsunami dengan lebih akurat, sekaligus memperkirakan seberapa sering bencana tersebut bisa berulang.

Lapisan-lapisan sedimen yang diperiksa oleh tim BRIN memperlihatkan usia yang bervariasi, yakni sekitar 400 tahun, 1.800 tahun, hingga 3.000 tahun.

“Jejak paleotsunami ini memberi kita pemahaman baru soal kekuatan dan dampak tsunami purba. Ini penting sebagai dasar mitigasi bencana yang lebih adaptif ke depan, terutama di wilayah yang saat ini tengah berkembang secara pesat,” tambahnya.

Lebih lanjut, Purna menekankan bahwa penemuan ini menyoroti pentingnya memasukkan pertimbangan risiko bencana ke dalam perencanaan pembangunan wilayah, terutama yang berada di zona rawan tsunami. “Hasil temuan ini juga mendukung urgensi integrasi aspek kebencanaan dalam perencanaan tata ruang dan pembangunan infrastruktur di wilayah rawan tsunami, termasuk di kawasan sekitar bandara, pelabuhan, serta permukiman baru yang tumbuh di selatan Jawa,” katanya.

BRIN juga menyampaikan harapan agar kolaborasi antara peneliti, pemerintah daerah, dan masyarakat dapat memperkuat kesadaran terhadap risiko bencana berbasis sains. Kolaborasi ini diharapkan dapat melahirkan sistem peringatan dini serta kebijakan pembangunan yang mengedepankan keselamatan masyarakat.

Adapun wilayah selatan Pulau Jawa yang termasuk dalam area penelitian meliputi: Provinsi Banten (Lebak), wilayah selatan Jawa Barat (Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Pangandaran), Jawa Tengah (Cilacap, Kebumen, Purworejo, Kulon Progo, Bantul, Gunungkidul, Yogyakarta), serta wilayah pesisir selatan Jawa Timur (Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Lumajang, Jember, Banyuwangi, dan Malang).

Sumber: ANTARA

x|close