Ntvnews.id,
Dalam salinan putusan yang dikonfirmasi di Jakarta pada Selasa, 5 Agustus 2025, Hakim Ketua Tahsin menyampaikan bahwa sejak audit Tahap I dan II dilakukan, Budi sebenarnya telah mengetahui adanya sejumlah temuan. Namun, dia tidak menghentikan kontrak, yang kemudian menyebabkan kerugian negara lebih besar.
"Dengan demikian untuk penjatuhan hukuman pidana pokok penjara, Majelis Hakim Pengadilan Tingkat Banding tidak sependapat dengan Majelis Hakim Pengadilan Tingkat Pertama," ujar Hakim Ketua.
Selain pidana penjara, majelis hakim tingkat banding juga tidak sejalan dengan hakim pengadilan tingkat pertama dalam hal denda yang dijatuhkan. Nilai denda sebelumnya dianggap tidak proporsional dengan kerugian negara sebesar Rp319,69 miliar.
Karena itu, denda terhadap Budi dinaikkan menjadi Rp200 juta, dengan ketentuan bahwa jika tidak dibayar, akan digantikan dengan pidana kurungan selama 4 bulan. Sebelumnya, denda yang dikenakan hanya Rp100 juta dengan subsider kurungan 2 bulan.
Namun, untuk uang pengganti, majelis hakim banding sepakat dengan keputusan sebelumnya, yakni Budi tidak dibebani kewajiban membayar uang pengganti.
"Hal ini karena di depan persidangan tidak ditemukan fakta hukum bahwa Budi ikut menikmati hasil tindak pidana korupsi," tutur Hakim Ketua.
Dalam putusannya, majelis menyatakan bahwa Budi terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Budi tidak sendiri dalam perkara ini. Ia diduga melakukan tindak pidana korupsi bersama Ahmad Taufik, Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM), serta Satrio Wibowo, Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI). Perbuatan mereka menyebabkan kerugian negara sebesar Rp319,69 miliar.
Perincian kerugian itu antara lain memperkaya:Satrio Wibowo sebesar Rp59,98 miliar,Ahmad Taufik Rp224,19 miliar,PT Yoon Shin Jaya Rp25,25 miliar,dan PT GA Indonesia Rp14,62 miliar.
Dalam dakwaan, ketiganya disebut berperan dalam melakukan negosiasi harga untuk 170 ribu pasang APD tanpa surat pesanan, kemudian juga terlibat dalam penandatanganan surat pesanan untuk lima juta pasang APD. Selain itu, mereka menerima pinjaman Rp10 miliar dari BNPB untuk membayar pembelian 170 ribu pasang APD yang dilakukan tanpa dokumen pendukung dan surat pesanan.
Tak hanya itu, mereka juga disebut menerima pembayaran atas 1,01 juta pasang APD merek BOHO senilai Rp711,28 miliar untuk PT PPM dan PT EKI, meskipun PT EKI tidak memiliki kualifikasi sebagai penyedia barang/jasa pemerintah dan juga tidak memiliki izin penyalur alat kesehatan (IPAK).
Lebih lanjut, PT EKI dan PT PPM diduga tidak menyerahkan bukti kewajaran harga kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), yang merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip pengadaan barang dan jasa dalam situasi darurat, yakni prinsip efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas.
(Sumber: Antara)