OC Kaligis Praperadilankan Bareskrim

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 4 Agu 2025, 07:58
thumbnail-author
Moh. Rizky
Penulis
thumbnail-author
Siti Ruqoyah
Editor
Bagikan
OC Kaligis. (Antara) OC Kaligis. (Antara)

Ntvnews.id, Jakarta - Pengacara ternama Otto Cornelis (OC) Kaligis, mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Penyebabnya, kliennya dijadikan tersangka oleh penyidik Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) Bareskrim Polri, hanya gara-gara membuat patok di lahan izin usaha pertambangan (IUP) miliknya sendiri.

Menurut Kaligis, penetapan tersangka Awwab Hafidz yang merupakan Kepala Teknik Tambang (KTT) PT Wana Kencana Mineral (WKM), dan Marsel Balembang selaku Mining Surveyor PT WKM, tidak sah

Sidang praperadilan sudah berlangsung sejak Kamis, 31 Juli 2025 dan Jumat, 1 Agustus 2025, serta kini sudah masuk tahap pemeriksaan bukti-bukti surat dari pihak Kaligis atau penggugat.

Dijelaskan Kaligis, kedua kliennya dijadikan tersangka berdasarkan laporan dari HADP selaku Direktur PT P, ke Bareskrim. Keduanya dijerat dengan Pasal 162 Jo Pasal 70, Jo Pasal 86F huruf b, Jo Pasal 136 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 sebagai Pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan/atau tindak pidana kehutanan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (3) Jo Pasal 50 ayat (2) Huruf a Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang penetapan peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 sebagai Pengganti UndangUndang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Kaligis mengungkapkan, ada banyak ketidakadilan yang diterima kliennya, dalam menjalani pemeriksaan dan penyidikan oleh penyidik Bareskrim.

"Karena itu, melalui praperadilan ini, kedua klien kami berharap mendapatkan keadilan atas kesesatan dalam penegakan hukum dan kekeliruan penerapan hukum miscarriage of justice, di mana hal ini sangatlah merugikan kedua klien kami, sehingga klien kami merasa dikriminalisasi dalam perkara ini," ujar Kaligis kepada wartawan, Minggu, 3 Agustus 2025.

Ia mengungkapkan, banyak kejanggalan dan pelanggaran dalam perkara yang menjerat kedua kliennya. Salah satunya, perbedaan pasal dalam proses penyelidikan dan penyidikan.

"Pada proses penyelidikan, kedua klien kami dituduh melanggar Pasal 162 UU Pertambangan Mineral dan Batubara jo Pasal 50 ayat 3 huruf a dan huruf k UU Kehutanan, sedangkan di proses penyidikan, berubah pasalnya, dan dituduh melanggar Pasal 162 UU Pertambangan Mineral dan Batubara jo Pasal 50 ayat 2 huruf a UU Kehutanan," beber Kaligis.

Kejanggalan kedua, lanjut dia, pasal yang disangkakan adalah pelanggaran Pasal 162 UU Pertambangan Mineral dan Batubara jo Pasal 50 ayat 2 huruf a UU Kehutanan, akan tetapi pertanyaan yang diajukan kepada tersangka dan saksi, bukan pertanyaan seputar pelanggaran atas ketentuan tersebut.

"Melainkan pertanyaan seputar patok/pagar pembatas yang dilakukan oleh kedua klien kami di wilayah IUP milik klien kami sendiri, yang menurut penyidik, pemasangan patok tersebut, di jalan angkutan (logging) yang sedang dikerjakan PT P," jelas Kaligis.

Ia menegaskan, tidak ada tindakan perusakan hutan yang dilakukan kedua kliennya, sebagaimana disangkakan oleh penyidik.

"Klien kami melakukan pemasangan patok/pagar pembatas di IUP sendiri dalam rangka menjaga lahan IUP-nya sendiri sebagaimana diwajibkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Jika memang benar ada perusakan hutan, maka perusakan hutan justru dilakukan oleh PT P karena pengerjaan yang dilakukan PT P, bukan membuka jalan angkutan (logging) melainkan pengerukan," jelas Kaligis.

Menurut dia, tindakan pengerukan yang dilakukan oleh PT P di daerah Wilayah IUP kliennya, diduga telah mengakibatkan pencemaran lingkungan. Tindakan ini yang kemudian yang menjadi dasar bagi klien Kaligis untuk membuat laporan polisi (LP), atas dugaan tindak pidana di bidang pertambangan mineral dan batu bara, yaitu melakukan kegiatan pertambangan di luar wilayah izin usaha produksi yang diduga dilakukan oleh PT P, di Desa Loleba, Kecamatan Wasile Selatan, Kabupaten Halmahera Timur yang terjadi pada tahun 2025.

“Laporan polisi tersebut kemudian dihentikan penyelidikannya dengan alasan harus diselesaikan terlebih dahulu secara keperdataan. Bukannya mendapat perlindungan hukum atas upayanya mencegah perusakan hutan dan pencemaran lingkungan, serta mencegah kerugian negara, yang diduga dilakukan oleh PT P, kedua klien kami justru dilaporkan balik ke Mabes Polri, bahkan ditersangkakan," papar Kaligis.

"Jika laporan polisi klien kami, di Polda Maluku Utara, dihentikan dengan alasan harus diselesaikan terlebih dahulu secara keperdataan, maka LP di Mabes Polri, juga seharusnya terlebih dahulu diselesaikan dalam ranah keperdataan," imbuhnya.

Yang terutama di kasus ini, kata Kaligis, kliennya selaku pemegang IUP dengan luas areal 24,700 Ha, dijamin dan dilindungi haknya, untuk melakukan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan tepatnya Pasal 94 UU tentang Minerba.

"Dalam hal ini tindakan mematok lahan IUP, yang dilakukan oleh klien kami merupakan hak klien kami yang dijamin oleh UU dan merupakan kewajiban klien kami dalam rangka pelaksanaan usahanya. Pemegang IUP wajib melaksanakan keselamatan operasi pertambangan, pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 96 UU tentang Minerba," tegas Kaligis.

Lebih lanjut, kata Kaligis , kliennya telah melakukan pengaduan kepada Kementerian Kehutanan, atas pembukaan lahan dan pembukaan material di kawasan IUP milik kliennya oleh IUP PT P, dan Gakkum Wilayah Maluku dan Papua telah mengeluarkan surat tugas untuk melakukan pengumpulan data dan informasi atas dugaan bukaan lahan dan penggalian material tersebut.

"Atas laporan tersebut telah terdapat laporan hasil pengaduan dugaan bukaan lahan dan pengambilan material di kawasan hutan oleh IUP PT P di Kabupaten Halmahera Timur Provinsi Maluku Timur yang dibuat oleh Gakkum Kementrian Kehutanan," jelasnya.

"Yang pada intinya memiliki kesimpulan 'Berdasarkan hasil kegiatan pengumpulan data dan informasi oleh Gakkum Seksi II Ambon dapat disimpulkan bahwa IUP PT P telah melakukan pembukaan lahan jalan angkutan dan pengambilan material mineral nikel di dalam kawasan hutan produksi tanpa melalui proses PPKH sehingga patut diduga telah terjadi tindak pidana di bidang kehutanan'," papar Kaligis.

"Sehingga, diberikan saran, 'Atas dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang kehutanan, maka perlu ditindak lanjuti dengan kegiatan pperasi penegakan hukum untuk dapat mengamankan barang bukti serta membuat laporan kejadian sebagai langkah proses hukum'," imbuhnya.

Yang ironisnya, kata Kaligis, PT P sampai sekarang masih melakukan usaha di lahan milik kliennya. Mereka, kata dia melakukan pembukaan lahan dan penggalian material di dalam kawasan hutan yang terletak di dalam wilayah IUP milik PT WKM yang merupakan kawasan hutan lindung dan belum diberikan persetujuan dalam bentuk IPPKH kepada PT P.

PT P, kata dia, melakukan pengambilan dan/atau pemindahan material tambang dari lahan yang berada dalam penguasaan hukum klien kami tanpa dasar hukum yang sah. Dan, melakukan kegiatan pengeboran di dalam wilayah IUP PT WKM guna mengambil sampel untuk mengetahui kadar nikel, yang dilakukan tanpa seizin kliennya selaku pemegang IUP atas wilayah tersebut.

"Mengacu pada fakta-fakta hukum di atas, yang menjadi janggal adalah, kliennya yang telah memiliki izin, melakukan kegiatan pertambangan, dan kemudian terdapat orang asing melakukan penambangan di wilayah IUP PT WKM secara tanpa izin akan tetapi malah klien kami yang ditetapkan sebagai tersangka, atas dugaan tindak pidana pertambangan dan/atau pertambangan," paparnya.

Sedangkan alasan pihaknya mengajukan permohonan praperadilan, kata Kaligis karena penyidik Bareskrim melakukan penyelidikan dengan mendasarkan pada ketentuan pasal yang sudah tidak berlaku.

"Dalam proses penyelidikan perkara, klien kami dilaporkan dan diperiksa atas dugaan tindak pidana kehutanan, dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf a dan huruf k UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan)," jelasnya.

"Ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf a dan huruf K UU Kehutanan tersebut, telah diubah berdasarkan UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2022 sebagai pengganti UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja," lanjut Kaligis.

Ketika suatu pasal diubah, pasal yang baru menggantikan pasal yang lama, maka menurutnya pasal yang lama secara efektif tidak belaku lagi. Dengan kata lain, lanjutnya, jika suatu pasal telah diubah atau telah dicabut atau tidak berlaku lagi, maka pasal tersebut tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum dalam kasus apa pun.

Dalam melakukan rangkaian tindakan atau perbuatan penyelidikan untuk menentukan ada atau tidaknya peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, penyidik Bareskrim mendasarkan pada pasal Pasal 50 ayat (3) huruf a dan huruf K UU Kehutanan yang sudah tidak berlaku. Artinya, kata dia ketentuan yang menjadi dasar penyelidikan telah dinyatakan tidak berlaku maka penyelidikan tersebut harus dihentikan karena tidak ada lagi dasar hukum untuk melanjutkan proses tersebut.

"Penyelidikan yang dilakukan oleh penyidik Bareskrim yang menerapkan pasal yang sudah tidak berlaku dalam hukum pidana adalah tidak sah," jelasnya.

"Hal ini sejalan dengan asas legalitas dalam hukum pidana yang mensyaratkan bahwa suatu perbuatan hanya dapat dikategorikan sebagai tindak pidana jika ada peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur perbuatan tersebut pada saat perbuatan itu dilakukan. Penerapan pasal yang sudah tidak berlaku akan melanggar asas non-retroaktif," imbuhnya.

Sedangkan alasan kedua pengajuan praperadilan, kata dia, adalah kliennya dijadikan tersangka untuk tindak pidana yang tidak pernah dilakukannya.

"Tidak ada tindakan perusakan hutan yang dilakukan oleh klien kami, sebagaimana disangkakan oleh penyidik, klien kami melakukan pemasangan patok/pagar pembatas didaerah IUP sendiri dalam rangka menjaga lahan IUPnya sendiri sebagaimana diwajibkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan," jelas Kaligis.

Jika memang benar ada perusakan hutan, kata Kaligis, maka perusakan hutan justru dilakukan oleh PT P, karena pengerjaan yang dilakukan oleh PT P bukanmembuka jalan angkutan (logging), melainkan pengerukan, dan itu bukan dilakukan kliennya.

Kliennya selaku pemegang IUP, telah melakukan upaya hukum dengan membuat laporan polisi atas dugaan tindak pidana di bidang pertambangan mineral dan batu bara, yaitu melakukan kegiatan pertambangan di luar wilayah izin usaha produksi, yang diduga dilakukan oleh PT P, di Desa Loleba, Kecamatan Wasile Selatan, Kabupaten Halmahera Timur yang terjadi pada tahun 2025. Tetapi laporan polisi itu dihentikan dan pada intinya menyatakan bahwa, perkara tersebut diselesaikan secara keperdataan.

"Jika laporan polisi yang dibuat oleh klien kami dihentikan dengan alasan harus diselesaikan terlebih dahulu secara keperdataan, maka seharusnya laporan polisi yang menjadi dasar klien kami ditetapkan sebagai tersangka juga seharusnya terlebih dahulu diselesaikan dalam ranah keperdataan, mengingat objek kedua laporan polisi tersebut adalah sama," papar Kaligis.

Sedangkan alasan ketiga, kata Kaligis, penyidik menjerat kliennya dengan Pasal 162 UU Pertambangan Mineral dan Batubara Jo. Pasal 50 ayat (2) huruf a UU Kehutanan. Akan tetapi pertanyaan yang diajukan kepada kliennya sebagai tersangka, bukanlah pertanyaan seputar pelanggaran atas ketentuan tersebut.

Melainkan pertanyaan mengenai pemasangan patok/pagar pembatas yang dilakukan oleh klien kami di wilayah IUP kliennya sendiri, yang menurut penyidik Bareskrim, pemasangan patok tersebut di jalan angkutan (logging) yang sedang dikerjakan oleh PT P.

Pertanyaan yang diajukan oleh penyidik Bareskrim, kata dia, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pasal yang disangkakan.

"Di antaranya, BAP nomor 5, yaitu 'Kapan dan di mana Saudara menerima perintah dari Saudara Awab Haeiza selaku kepala teknik tambang para pemohon untuk melakukan pemasangan patok/pagar pembatas IUP para pemohon di jalan angkutan (logging) yang sedang dikerjakan oleh PT P yang masuk dalam Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan PT Wana Kencana Sejati, jelaskan?'," papar Kaligis.

Hal ini, kata dia semakin menunjukan ketidaksesuaian penyidik Bareskrim dalam menggali fakta peristiwa pidana yang disangkakan terhadap kliennya, terhadap paaal yang disangkakan, yang tidak berkorelasi dan tidak relevan dengan fakta yang digali oleh penyidik.

"Berdasarkan hal tersebut di atas peristiwa pidana dengan pasal yang disangkakan oleh penyidik Bareskrim kepada klien kami menjadi tidak terang dan tidak bersesuaian (obscure)," tuturnya.

"Dengan demikian penyidik Bareskrim melakukan penyelidikan dan penyidikan bertentangan dengan Pasal 1 angka 5 KUHAP Jo. Pasal 1 angka 2 KUHAP sehingga penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Bareskrim adalah tidak sah dan sudah sepatutnya batal demi hukum," tegas Kaligis.

x|close