Ntvnews.id, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) mulai memproses uji materi mengenai praktik rangkap jabatan oleh wakil menteri (wamen) yang juga merangkap sebagai komisaris pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Persidangan perdana untuk perkara bernomor 118/PUU-XXIII/2025 diselenggarakan pada Kamis, 31 Juli 2025, ini dengan agenda pemeriksaan pendahuluan.
Pemohon dalam perkara ini, aktivis hukum A. Fahrur Rozi, hadir langsung dalam ruang sidang di Gedung MK, Jakarta. Sementara itu, pemohon lainnya yang juga pendiri Pinter Hukum, Ilhan Fariduz Zaman, mengikuti jalannya persidangan secara daring.
Baca Juga: MK Diminta Kecualikan Jurnalis dan Seniman dari Larangan Pengungkapan Data Pribadi
Keduanya mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara serta Pasal 27B dan Pasal 56B Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 yang merupakan perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Di hadapan panel hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Fahrur Rozi menyampaikan keprihatinannya atas praktik rangkap jabatan yang dilakukan oleh sejumlah wamen sebagai komisaris di BUMN. Ia menyebut bahwa setidaknya terdapat sekitar 30 wakil menteri yang saat ini merangkap jabatan.
“Pasal 23 Undang-Undang Kementerian Negara itu tidak menyebutkan adanya frasa wakil menteri secara eksplisit, sedangkan Pasal 27B dan Pasal 56B [Undang-Undang BUMN] itu tidak memberikan kualifikasi yang rigid jabatan apa saja yang menjadi objek larangan rangkap jabatan,” ujar Fahrur Rozi.
Pasal 23 Undang-Undang Kementerian Negara memuat larangan rangkap jabatan bagi seorang menteri. Ada pun bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut:
Baca Juga: Wamenparekraf Apresiasi Integrasi Musik dan Budaya Tradisional dalam Konser
“Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD.”
Menurut para pemohon, pasal tersebut dianggap tidak memberikan kepastian hukum yang adil karena hanya berlaku bagi menteri dan tidak secara eksplisit mengatur mengenai posisi wakil menteri. Hal ini dinilai bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Karena itu, para pemohon berpendapat bahwa Pasal 23 Undang-Undang Kementerian Negara perlu ditafsirkan secara leksikal, dengan menambahkan frasa “wakil menteri” secara eksplisit ke dalam rumusan pasalnya.
Dalam permohonan (petitum)-nya, para pemohon meminta agar Mahkamah Konstitusi menyisipkan frasa “wakil menteri” pada Pasal 23 Undang-Undang Kementerian Negara.
Pemaknaan tersebut dianggap sejalan dengan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 80/PUU-XVII/2019, yang menyatakan bahwa larangan rangkap jabatan bagi menteri juga berlaku bagi wakil menteri karena keduanya memiliki status yang sama, yakni diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Sementara itu, Pasal 27B Undang-Undang BUMN mengatur mengenai larangan rangkap jabatan oleh dewan komisaris BUMN, sedangkan Pasal 56B mengatur larangan serupa bagi dewan pengawas.
Namun, menurut Fahrur dan Ilhan, kedua pasal tersebut tidak menjelaskan secara tegas dan rinci jabatan mana saja yang dilarang untuk dirangkap oleh anggota dewan komisaris dan dewan pengawas BUMN.
Hal ini berbeda dengan pengaturan larangan rangkap jabatan bagi dewan direksi BUMN yang secara jelas tertuang dalam Pasal 15B dan Pasal 43D Undang-Undang yang sama. Karena itu, Pasal 27B dan Pasal 56B dipandang bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil.
Baca Juga: Omzet Melejit, Kisah Sukses UMKM Kuliner Kurma yang Tumbuh Bersama Rumah BUMN BRI Jakarta
Lebih lanjut, dijelaskan pula bahwa dewan komisaris dan dewan pengawas tidak dilarang merangkap jabatan struktural maupun fungsional pada instansi pemerintah pusat maupun daerah, sebagaimana larangan yang berlaku bagi dewan direksi.
Selain itu, jabatan anggota dewan komisaris dan dewan pengawas BUMN juga tidak dibatasi dari merangkap sebagai pengurus partai politik, calon anggota legislatif, anggota legislatif, calon kepala daerah, calon wakil kepala daerah, kepala daerah, dan/atau wakil kepala daerah maupun jabatan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan.
Berdasarkan kondisi tersebut, para pemohon mendesak agar Mahkamah Konstitusi menyamakan pengaturan larangan rangkap jabatan antara dewan komisaris dan dewan pengawas dengan ketentuan larangan yang berlaku bagi dewan direksi.
Dalam sesi pemberian nasihat dari hakim, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih yang bertindak sebagai anggota panel menyarankan agar para pemohon memperdalam uraian terkait pertentangan norma pasal yang diuji dengan ketentuan konstitusi.
Baca Juga: BMKG Ungkap Alasan Tsunami Rusia Bisa Berdampak hingga Indonesia
“Di mana letaknya kalau saudara mengatakan ini tidak ada jaminan, misalnya, kepastian hukum atau apa, terserah, saudara harus bangun sendiri. Kalau perlu Anda buat komparasi dengan negara lain yang sistemnya presidensial juga,” kata Enny.
Saran tersebut diberikan khusus untuk pengujian terhadap Pasal 23 Undang-Undang Kementerian Negara. Enny tidak banyak memberikan tanggapan terkait pengujian pasal-pasal dalam Undang-Undang BUMN karena undang-undang tersebut sedang dalam proses uji formil di Mahkamah.
“Undang-Undang BUMN itu sedang dalam proses uji formil, saya tidak memberikan banyak hal di situ, menunggu sampai selesai uji formilnya itu,” tutur Enny.
(Sumber: Antara)